Sayang?

40.4K 3.3K 72
                                    

YEAAAHHH!!! Hahahaha saya updet nih Mas Pras dan Mbak Sasti-nya huhuhu jangan dibom ya saya hihihi

a/n : part yg sebelumnya, sengaja saya buat karena jauh sebelum part-part sekarang (saat masih bahas masa lalunya Pras, lupa saya part berapa *geplak) ada yang tanya soal 'si mantan' kemana (padahal saya penginnya jadi kejutan, tapi... ah, syudahlaaahh, yang penting kalian hepi) #ciyeeehh hahahaha

mulai part ini (mungkin) akan ada scene-scene tertentu (bisa juga) flashback, jadi... harap maklum ya.. saya bukan sengaja me-molor-kan fiksi ini sampai ke part ending ya, cuma saya emang suka aja kalo ada detail-detail tertentu, kan jadi nggak bingung yang nikmatin ceritanya *halasan* hihihi

WOKKKEEEHH!! Selamat menunggu next part, guysss... love yaaa!! ^^

***

Ekor mata Sasti memerhatikan Pras yang sedang fisioterapi dari kejauhan. Satu orang perawat laki-laki menjaganya di sisi kanan dan Dokter Hans menginstruksikan gerakan Pras dari sisi kiri. Sesekali Sasti harus menahan napas saat melihat Pras yang oleng dan hampir jatuh. Langkah lelaki itu masih gemetar dan patah-patah layaknya robot. Sekujur badannya dibanjiri keringat dingin.

Genggaman Pras begitu kuat pada besi yang menjadi pegangannya di sisi kanan dan kiri treadmill. Buku-buku tangannya sampai bermunculan, kelihatan sekali gurat takut dan tegang. Pras memang selalu takut menghadapi fisioterapi. Selain takut akan jatuh, ia juga tidak punya cukup kepercayaan diri untuk sembuh.

Sepuluh menit kemudian, Dokter Hans menyudahi fisioterapi dan seorang perawat laki-laki tadi membantu Pras duduk di kursi roda dan mendorongnya mendekati Sasti, kemudian permisi keluar. Dalam diam, Sasti menarik napas dan mengembuskannya panjang. Dia ikut merasa tegang setiap melihat Pras yang ketakutan menjalani terapi, dan baru bisa kembali menghela napas setelah terapi selesai.

Sasti tersenyum lembut menyambut Pras yang kelelahan dan menyodorkan botol air mineral untuknya. "Capek ya, Mas?" tanya Sasti, menghapus keringat di sekitar leher dan tengkuk Pras.

Pras mengangguk dan menarik napas panjang. Wajahnya kelihatan lelah tapi sorot matanya tetap berbinar. "Tadinya iya, tapi pas liat kamu capeknya jadi hilang," katanya, tersenyum tipis. Satu tangannya menarik jemari Sasti dan menggenggamnya erat, seolah mereka baru saja berpisah puluhan abad.

Sasti mendengus pelan, berusaha menyembunyikan rona merah muda di kedua pipinya. "Makanya Sas ke sini, mau kasih semangat buat suami tercinta, biar cepet sembuh. Kan kita lagi program sebelas anak."

Jawaban Sasti mau tak mau meloloskan tawa Pras. Sebelah tangannya yang bebas menarik pucuk hidung Sasti gemas. "Kamu ini... memang nggak capek melahirkan banyak begitu?"

Dengan cepat Sasti menggeleng. "Siapa tahu aja sekali melahirkan langsung kembar tiga, Mas. Kan jadi nggak capek melahirkan."

Tangan Pras beralih ke rambut Sasti, mengacaknya sayang. "Aamiin... nanti yang satu jadi bonus ya, biar pas selusin," balasnya, tertawa kecil.

Cengiran Sasti terbentuk lebar. "Aamiin... semoga yang lewat ruangan ini dengar doa kita ya, Mas. Semakin banyak didengar orang, semakin banyak juga diamini. Kan doanya juga jadi semakin cepet diijabah. Iya, nggak?" Sasti mengedipkan sebelah matanya dan tertawa genit.

Kalau sudah seperti itu, Pras tidak bisa untuk tidak ikut tertawa melihatnya. Rasa lelahnya langsung menguap. Sasti selalu berhasil menjadi senyawa yang mengembalikkan tenaganya dalam sekejap.

Suara dehaman Dokter Hans menginterupsi mereka. Sasti langsung berdiri dan menyapa Dokter Hans. "Siang, Dokter Hans...."

Dokter Hans mengangguk. "Siang juga, Dokter Sasti. Ah, kebetulan. Tadi pagi Dokter Rahma sempat mencari-cari Dokter Sasti sebelum pertemuan di aula besar. Sudah ketemu sama Dokter Rahma?" tanyanya.

PRAS-SASTIWhere stories live. Discover now