Yang Saling Ditunggu

36.7K 3.1K 153
                                    

            Langkah kaki Sasti menggema di selasar rumah sakit yang masih lengang, kemudian berhenti di depan kamar Tulip bernomor 222. Satu tangannya memutar kenop pintu dan menyelipkan diri ke dalam.

"Selamat pagi...."

Sapaan riangnya hanya dibalas hening kamar dan suara alat pendeteksi detak jantung yang masih menjadi satu-satunya sumber suara selain darinya, juga sapuan angin pagi yang menderu lembut dari balik gorden jendela. Sasti tersenyum tipis seraya mendekati sosok lemah di atas ranjang itu, satu tangannya meraih pergelangan putih nan kurus itu dan memeriksa denyutnya. Masih ada dan stabil.

Embusan napas Sasti terdengar panjang. Digenggamnya jemari tangan yang lemah itu dan tersenyum lembut. "Selamat pagi, Mbak Veraina... gimana tidurnya semalam, enak? Mimpi indah, nggak? Semakin hari, Mbak Veraina makin cantik aja." Sasti mengoceh sambil membenahi letak selimut pasiennya. "Oh, iya, Mbak dapat salam dari Shifa. Kemarin Shifa udah bisa diajak ngobrol, lho. Keadaannya udah lebih baik. Jantung baru Shifa udah mulai baradaptasi. Shifa udah semakin sehat."

Desibel suaranya hanya dibalas desah napas pelan dari sosok di depannya. Belum ada tanda-tanda pemiliknya akan menyahut.

Suara kenop pintu yang dibuka menjengitkan Sasti. Arya dan Suster Nada datang berbarengan dan menyapa bersamaan. Sasti tersenyum kecil dan balas menyapa. Sekilas, matanya menangkap Arya yang kelihatan lelah. Kedua mata lelaki itu semakin berkantung dan kali ini, di bahu kirinya, tersampir sebuah jas senada miliknya, hanya dengan logo rumah sakit berbeda. Lelaki itu pasti baru pulang dari tugas malam.

Dua minggu menjadi dokter penanggung jawab Veraina Yasmin, Sasti jadi tahu kalau Arya juga merupakan seorang dokter muda di Rumah Sakit Pelangi. Statusnya masih koas dan memiliki jam kerja sistem shift. Tak jarang lelaki itu baru bisa menyambangi pasiennya pagi hari begini.

Arya tersenyum menatap gadisnya, mengusap kepalanya penuh sayang dan mendaratkan kecupan di kening. "Selamat pagi, Bu Dosen," katanya lembut, mengundang senyum sendiri di bibir Sasti yang terus memerhatikan.

Sejurus, tatapan Arya beralih pada Sasti dan Suster Nada. "Waktunya bersihin Yasmin ya, Dok, Sus? Boleh saya yang gantiin nggak?" tanya Arya, tercengir lebar. Kedua alisnya dinaik-turunkan dengan lucu.

Sasti berdecak pelan. "Maaf ya, Dokter Arya, bersihin dan gantiin baju Mbak Veraina itu tugas saya dan Suster Nada. Jangan coba-coba cari kesempatan dalam kerinduan," sahut Sasti, mengundang derai tawa Arya dan Suster Nada.

Bukan kali pertama ini Arya meminta agar dia yang memandikan Veraina, bahkan tak jarang sampai merengek. Tapi berulang kali juga Sasti menolak.

"Usaha sedikit kan nggak salah, Dok," timpal Arya, masih cengengesan.

Sasti memanyunkan bibir. "Usaha sih usaha, Dok... halalin dulu, bisa kali," candanya, menyeringai lebar.

Arya mengerling kekasihnya. "Sayang, kamu dengar kan barusan? Dokter Sasti minta aku halalin kamu. Kalau aku halalin kamu pakai bismillah, kamu mau nggak?"

"Bismillah plus rumah mewah. Iya nggak, Mbak?" celetuk Sasti, terkekeh pelan.

"Ah, Yasmin-ku ini cuma butuh Arya Dewangga thok, Dok. Selebihnya bisa nyicil hahaha."

Sasti dan Suster Nada hanya bisa geleng-geleng kepala. Dua minggu mengenal Arya, ternyata lelaki itu orang yang ajaib. Meski cara berpakaiannya selalu rapi layaknya eksekutif muda, tapi sikapnya konyol dan selengean. Berlama-lama bersama Arya, kadang Sasti merasa seperti bersama Ares.

PRAS-SASTIWhere stories live. Discover now