Sebaiknya Disudahi

39.1K 3.2K 148
                                    

            Sasti menatap pintu di hadapannya dengan pandangan nanar dan hati mencelus. Matanya kembali berkaca dan dadanya terasa sesak. Sudah seminggu ia bolak-balik ke kamar ini, tapi jawaban yang diberikannya untuk lelaki yang setia menunggu di dalam kamar itu masih juga sama.

"Maaf ya, Dokter Arya... Pras belum bisa saya ajak jenguk Mbak Vera..."

Dan jawaban yang diterima Sasti juga masih sama, cengiran khas seorang Arya Dewangga.

Helaan napas Sasti meruap sekali lagi. Satu tangannya sibuk memijat tengkuknya yang terasa patah, menggerakannya ke kiri dan kanan. Seharian ini, entah berapa kali dia menguap lebar dan ketahuan mengantuk di sela pemeriksaan. Bahkan Shifa, yang biasanya kelihatan tenang, hari ini tampak sedikit takut. Kata Shifa, dirinya kelihatan seperti mayat hidup.

Sasti menggeleng seraya tersenyum getir. Semoga hanya Shifa yang menyadari kalau dirinya merasa bagai zombie beberapa hari belakangan. Ia tidak siap memberikan jawaban kalau sampai banyak orang menyadari keadaannya.

Membuang napas sekali lagi, Sasti memutar kenop pintu di hadapannya perlahan, kemudian mendorongnya pelan, dan sosok yang sudah ia hapal, kembali menjadi pemandangan pertama yang menyambut kedatangannya.

"Selamat Sore, Dokter Arya..."

Sapaan Sasti menolehkan Arya yang sedang membenahi selimut Vera. Lelaki itu tersenyum lebar dan berdiri di samping ranjang kekasihnya yang masih tergolek lemah. Jas dokternya tersampir di sudut meja.

"Sore juga, Dokter Sasti. Tumben ya kita ketemu sore-sore begini. Biasanya pagi-pagi udah saling tukeran senyum, hehehe." Arya menyahut ceria.

Sasti balas tercengir lebar, melirik jas Arya sejenak. "Dokter udah pulang atau baru mau berangkat? Kok kelihatannya agak—"

"Agak-agak ganteng dan mempesona, ya, Dok?" serobot Arya, terkekeh garing. Tapi, kemudian cengirannya menguap saat menyadari keadaan perempuan di depannya. Wajah Sasti pucat dan lingkaran di sekitar matanya menghitam. Tubuhnya juga lebih kurus.

"Dokter baik-baik aja?" tanya Arya kemudian, tatapannya memicing. Ia yakin benar kalau terakhir kali bertemu, warna di sekitar lingkaran mata Sasti tidak sehitam itu, dan tidak bengkak seperti habis menangis tujuh hari tujuh malam seperti hari ini.

Dalam hati, Sasti merutuki diri. Benar 'kan tebakannya, ternyata bukan hanya Shifa yang menyadari penampilannya berantakan, sepertinya Arya lebih teliti.

Sasti tercengir kecil seraya mengangguk, berusaha menghindari tatapan Arya. Ia tahu, setelah ini, pasti Arya akan bertanya banyak hal. Rasanya ia belum siap. Lebih tepatnya, hatinya yang belum punya kesiapan.

"Saya baik-baik aja, Dok. Emangnya saya keliatan nggak sehat, ya?" tanya balik Sasti, lalu beringsut mendekati pasiennya. "Selamat sore, Mbak Vera. Apa kabarnya hari ini? Gimana tidurnya, enakan nggak? Mimpi apa tadi?" tanyanya bermonolog, sambil mengecek denyut jantung dan tekanan darah Vera. Senyumnya dipasang lebar.

Tatapan Arya terus mengekori Sasti, dan memasang senyum baik-baik saja adalah salah satu cara membuat Sasti kelihatan normal. Walau aslinya, entah siapa yang sedang Sasti bohongi, lelaki di depannya atau dirinya sendiri.

"Saya memang bukan pranormal atau orang jenius, Dok, tapi kalau cuma nebak kondisi Dokter aja sih, saya bisa," kata Arya lagi. "Dan saya berani taruhan, kalau beberapa hari ini, Dokter kena insomnia dadakan, iya nggak?" sambungnya.

PRAS-SASTIWhere stories live. Discover now