Eyang Sihir

43.7K 3.8K 54
                                    

Keadaan meja makan itu terasa semakin hening. Pras sempat merasa dia benar-benar akan baik-baik saja mendapati reaksi Sasti yang tidak begitu signifikan. Tetapi saat ini, Pras malah merasa ubun-ubunnya mulai mengepul. Perempuan senja di depannya bukan hanya menunjukkan ketidaksukaan pada Sasti, tapi jelas membandingkannya dengan Vera. 

Pras mengepalkan tangannya yang bebas. Melihat bagaimana ekspresi eyangnya menatap Sasti, membuatnya meradang, terlebih melihat Sasti yang mendadak membeku, menghantarkan kemarahan yang mengbubung ke seluruh tubuhnya.

Pras baru akan menyahuti eyangnya ketika tiba-tiba merasa genggaman Sasti pada tangannya mengendur. Wajah gadis itu berubah pias dan matanya mengembun. Dalam hati, Pras menggeram. Sebelum genggaman tangan Sasti terlepas, Pras menggenggam balik jemari Sasti, meremasnya pelan seolah menyalurkan kekuatan. Pras berharap Sasti mau menoleh padanya, tapi mendapati gadis itu tak bereaksi membuat dadanya semakin bergemuruh.

Dalam kemarahannya, Pras menghela napas pelan. Tatapannya diarahkan lurus-lurus pada perempuan senja yang senantiasa ia hormati. Tapi untuk hari ini, agaknya rasa hormat itu mesti dihilangkan.

Desisan pelan ke luar dari bibir Pras. Tatapannya nyalang pada Adelin. Sekuat tenaga Pras menahan emosinya agar tidak meledak saat ini juga. Pelan-pelan, Pras menarik lagi napasnya. Senyum sinisnya terurai jelas.

"Jadi, Eyang jauh-jauh dari Bogor ke sini cuma mau bahas tentang Vera di depan Sasti?" tanya Pras ketus. "Kalo benar begitu, Eyang berhasil. Sasti sudah tahu siapa Vera dan karena itu, Eyang boleh pulang sekarang juga."

Pras berkata dengan intonasi suara tegas dan dingin, membuat beberapa pasang mata membola terkejut.

Mata Adelin ikut membesar mendengar sahutan Pras yang datar dan tajam. "Kamu ngusir Eyang hanya karena Eyang menyinggung soal Vera di depan calon istri kamu, Pras?" tanyanya tidak percaya.

Pras mengangguk mantap. "Ya."

Adelin berdecak sinis. "Segitunya kamu, Pras. Eyang nggak nyangka kamu bisa berubah jadi nggak hormat sama orang tua hanya karena Sasti, perempuan yang bahkan belum satu tahun kamu kenal. Apa sebesar itu pengaruh Sasti buat kamu. Kamu itu cicit Eyang. Wajar kalo Eyang menilai bagaimana calon istri kamu!" Adelin berseru tertahan membela diri. Otot-otot wajahnya bermunculan.

Pras mendengus sinis. "Eyang bukan sedang menilai, tapi membandingkan. Maaf kalo Pras jadi kurang hormat sama Eyang, tapi Eyang juga perlu tahu kalau membuka masa lalu Pras di hadapan perempuan yang akan menjadi masa depan Pras, juga nggak bisa disebut perbuatan hormat. Dan satu lagi, nggak ada lagi yang boleh menyebut nama itu di dalam keluarga ini, nggak siapapun!"

Sahutan Pras lebih tajam dan menusuk. Tatapannya murka pada Adelin yang meradang.

"Kamu bener-bener keterlaluan, Pras! Kamu itu cicit Eyang yang paling Eyang sayangi dan Eyang mau kamu mendapatkan perempuan terbaik. Dan Vera-"

"Cukup, Eyang!!" Pras menggebrak meja makan keras, membuat semua yang ada di atasnya bergetar dan semua orang di meja makan itu tersentak. Tatapan mata Pras menyalang marah. Wajahnya merah padam dan rahangnya mengatup ketat. Giginya gemeletuk gregetan.

Sasti yang duduk di sebelah Pras, juga berjengit kaget. Perasaan kacau yang tadi melingkupinya hilang seketika melihat Pras yang murka. Sasti balik menggenggam jemari Pras yang menutupi tangannya dengan kedua tangan, meremasnya kuat berusaha menenangkan.

Pras menoleh sesaat pada Sasti dan menemukan sorot khawatir gadis itu membuat amarahnya agak ditahan.

"Lihat, Sasti, kamu udah berhasil mengubah cicit saya jadi nggak hormat sama saya. Dan kamu, Pras, apa perempuan kayak dia yang mau kamu jadikan istri? Buka mata kamu, Pras! Sasti benar-benar nggak pantas buat kamu! Cuma Ve-"

PRAS-SASTIWhere stories live. Discover now