Dan Akhirnya

47K 3.6K 256
                                    

Sebelum baca part ini, saya saranin sedia es banyak-banyak ya, kali aja ada yang berasap hehehe *tabok*

HAPPY READING ^^

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sasti menggaruk-garuk pelipisnya bingung. Langkahnya maju mundur dan ragu-ragu di depan pintu ruang kerja pribadi suaminya. Di tangannya ada map berisikan cacatan medis lengkap Veraina Yasmin. Setelah satu hari menunda, Sasti merasa jahat kalau harus menunda lagi. Kemarin, ia membiarkan tidak mengungkit perihal Vera di hadapan Pras, karena merasa perasaan Pras juga sedang tidak bagus. Tetapi hari ini, lelaki itu kelihatan dalam suasana hati yang baik-baik saja, dan kalau harus menunda lagi, Sasti tidak yakin bisa. Sebab yang sedang diperjuangkannya bukan lagi perihal materi, tapi nyawa seseorang yang bisa saja sedetik kemudian direnggut Yang Maha Kuasa.

Bunyi kenop pintu diputar menjengitkan Sasti dan menjajarkan tubuhnya beberapa langkah ke belakang. Sasti buru-buru menyembunyikan map tersebut ke belakang punggung. Pras berdiri di depannya dengan sepasang kruk dan tatapan bertanya. Sasti tersenyum salah tingkah sambil menggaruk-garuk tengkuk tidak jelas.

"Ba-baru aja Sas mau susul, Mas. Kirain nggak mau tidur," kata Sasti, rikuh.

Pras tersenyum kecil. "Baru selesai tadi. Ayo, tidur."

Sasti mengangguk dan mengekori Pras menuju kamar, meletakkan map di atas meja nakas. Hatinya ketar-ketir. Dia tidak tahu harus memulai dari mana dan bagaimana. Sebelum-sebelumnya, baik dirinya maupun Pras tidak ada yang berinisiatif membahas perihal Vera. Nama itu ada di masa lalu dan sebaiknya tersimpan selamanya di sana.

Derak ranjang yang bergerak di belakangnya menjengitkan Sasti sekali lagi. Wajahnya tampak bingung dan tidak fokus. Pras sudah naik ke atas tempat tidur tetapi pikiran Sasti masih mengawang ke mana-mana.

"Nggak mau tidur, Sas?"

Sentuhan kecil di bahunya membuat Sasti kaget dan menoleh berlebihan. Akibatnya keningnya membentur hidung Pras yang berada tepat di belakangnya. Pras mengaduh refleks, sementara Sasti terpekik heboh. "Astaghfirullah hal adzim!! Aduh, Mas, maaf-maaf... Sas nggak sengaja. Duh, maaf banget ya, Mas... sakit banget ya?"

Sasti kelihatan panik sekali. Wajahnya tegang dan mengedip terlalu cepat, sementara Pras malah tertawa rendah. Satu tangannya berlari menuju pucuk kepala Sasti dan mengacaknya penuh sayang. "Mas nggak apa-apa. Katanya mau tidur, kenapa bengong? Ada yang ketinggalan di rumah sakit?"

Cepat-cepat Sasti menggeleng dan memasukkan diri ke dalam selimut yang sudah menutupi sebagian tubuh Pras, lalu merebahkan diri pelan-pelan di samping lelaki itu. Tatapannya tak pernah berhenti di satu titik, kadang menatap langit-langit kamar, kadang juga melirik Pras yang sibuk membenahi letak bantal. Demi Sang Penggenggam Hidup, Sasti bingung harus memulai bagaimana. Dia tidak tahu harus apa. Selain digulung bimbang, Sasti juga dikecam ketakutan. Bagaimana kalau respons Pras tidak sesuai intuisinya? Bagaimana kalau lelaki itu marah? Atau malah sebaliknya?

Kebingungan Sasti berhasil ditangkap Pras. Lelaki itu mengerutkan kening penuh tanya. Untuk beberapa detik, Pras memilih terus memerhatikan Sasti dalam diam, sampai kemudian mata mereka bertubrukan.

Pras diam, Sasti juga diam. Beberapa detik berlalu dalam posisi yang sama dan belum ada yang berniat memecah kesunyian.

Satu tangan Pras pelan-pelan lansir, memainkan helaian rambut Sasti yang dibiarkan tergerai di atas bantal. "Ada yang mau kamu sampaikan ke Mas, hm?" tanya Pras, memulai.

PRAS-SASTIWhere stories live. Discover now