- 0 & 1

6K 374 56
                                    

00. INM : PROLOG

Gelap malam di kukung oleh pijar kilatan gemuruh, laju basah membasahi tubuh. Sepasang insan kaki terus melangkah mundur menghindari dua bayang kian mendekat. Gemericik air beradu dengan lantai dingin, remaja itu ketakutan.

Matanya bergetar, bibirnya bergumam menahan isakan, tubuhnya hampir limbung kala kaki kirinya tak menginjak apapun di bawahnya. Dirinya melirik ke bawah, jauh-sangat jauh dasar tanah itu.

"Alvano Raifansyah, menurut lah, dan ikut dengan kami."

Kepala sayu itu menggeleng kuat, tubuhnya gemetar ketakutan ditambah guyuran hujan membuatnya semakin menggigil kedinginan.

"E-engga! Gue ga akan mau!" Tolakan mentah dari remaja bernama Alvano itu menjadi penutup segala ketakutannya.

Tubuh kecil itu terjun bebas menghantam tanah dan menimbulkan suara gedebum besar. Di tengah kesadarannya, Alvano tersenyum melihat genangan air di sekitarnya menjadi merah bercampur lumpur. Matanya melihat ke atas dimana dua orang yang mengejarnya tadi kini terlihat panik.

Alvano senang, dia membawa apa yang harus dibawa.

×

Ketiga pasang langkah kaki terlihat terburu-buru bergesekan dengan lantai rumah sakit. Jejak lumpur menjadi jalan peninggalan ketiganya menuju ruang ICU. Salah satu remaja laki-laki, memakai jaket kulit hitam, telinganya di pearching dan sorot mata tajam bercampur kekhawatiran berjalan menerobos ruang ICU dengan kasar.

Para perawat dan dokter didalam terkejut bukan main. Perawat laki-laki berusaha mengusirnya keluar, tetapi remaja itu semakin membuat kekacauan dan memukul siapa saja yang menghalanginya.

"MINGGIR BANGSAT!"

Teriakan nyaring menggema, remaja itu mendorong meja peralatan medis hingga berserakan di lantai. Langkah gontai nya dia seret menuju tubuh yang terbaring tak berdaya di hospital bed. Isak tangisnya kian membesar kala detakan debar di tubuh itu tak terdengar oleh telinganya.

Tangan basahnya mengusap sayang kepala Alvano dan membelainya penuh kasih. Setelah sekian lama, Alvaro Reifansyah kembali menangis. Rei menangis untuk saudara kembarnya.

"Dokter, ini sudah hampir dua jam, kepala sekolah anak ini ingin tahu keadaannya."

Rei berdesis pelan, tangannya mengusap air yang mengalir dari pelupuk matanya. Sorot tajamnya menatap dokter itu seolah dendam penuh kehausan memantul disana.

"Bilang sama mereka, Alvano baik-baik saja. Benturan di kepalanya membuat dirinya tak sadarkan diri, dia sudah berhasil melewati masa kritisnya. Kemungkinan dalam waktu satu minggu dia akan kembali beraktivitas seperti biasa." kalimat perintah dengan intonasi tegas itu berhasil membuat dokter dan para perawat bergidik ngeri.

Dokter itu meneguk ludahnya kasar. "Nak, saudaramu sudah meninggal."

Rei maju selangkah, diliriknya tubuh tanpa jiwa itu sebentar dan kembali melihat ke arah sang dokter.

"Telinga adalah Indra pendengar, dan gunanya adalah mendengarkan orang yang berbicara atau suara yang menyala. Apakah gendang telingamu mengalami kebutaan jangka pendek?"

Pertanyaan itu berhasil membuat sang dokter keluar untuk memberikan informasi palsu mengenai Alvano. Setelah para perawat dan dokter keluar, kedua teman Rei muncul dari persembunyiannya mereka. Keduanya saling beradu pandang, menunggu keputusan dari sang ketua.

"Lo yakin bakal balas ini semua?"

Rei berdiri tegak, tangannya mengepal erat, sorotnya yang tajam menatap kedua temannya. Gemuruh dalam hatinya bergejolak hendak menghancurkan siapa saja.

[✓] IT'S (NOT) METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang