Tan x = Sin x / Cos x

1K 162 118
                                    

30. INM : RAJA MUSUH?


Re menatap datar ke arah Mario ketika mendengar jawaban dari Mario. Sedangkan Mario semakin memundurkan langkahnya, matanya bergerak gusar saat Re mengeluarkan benda tajam berkilau dari saku hoodie yang dikenakan remaja itu. Langkah Re terus berjalan ke arah Mario, wajahnya tanpa ekspresi sama sekali. Mario akui jika Re sangat menyeramkan saat ini, walau dari segi apa pun masih Rei lah yang lebih menyeramkan.

Tiba-tiba Re langsung berlari ke arahnya dengan benda tajam itu tepat menusuk ke samping kirinya, Mario sedikit meringis saat pisua itu menggores lengan kirinya. Setelahnya Re langsung mendorong Mario hingga remaja itu jatuh tersungkur ke belakang. Re tersenyum, orang yang hendak memukul Mario kini berhasil dia tangkap.

Re mencabut pisaunya yang tertancap acak di perut orang itu, lalu dia mendorong orang itu hingga terlentang di lantai. Re menggeleng dan tertawa senang, tawanya seperti anak kecil yang baru saja mendapat mainan baru.

"Kalian tahu? Menguntit orang lain itu ga baik loh," ujar Re memperingati.

"R-rei?" Valdi, Qawi dan Danu yang merasa jika orang yang dimaksud oleh Re adalah mereka segera keluar dari tempat persembunyian mereka.

Mata Qawi hampir keluar ketika melihat seluruh anggota OSIS dan lima staff kesiswaan berada di dalam kolam renang dengan keadaan yang mengenaskan. Lalu matanya melihat ke arah Azam yang baru saja ditusuk pisau oleh Re.

Valdi mengepalkan tangannya. "Lo bilang lo bukan pembunuh dan ga akan pernah jadi pembunuh! Kenapa lo nusuk Azam?!" tanyanya dengan nada tinggi.

Re mengernyit dahinya bingung, lalu dia menatap ke arah Mario yang hanya diam sembari memegangi lengannya. "Gue? Kapan gue bilang gitu? Gue aja ga kenal lo siapa," jawab Re bingung.

Kepalanya dimiringkan, dahinya berkerut, lalu setelahnya dia bertepuk tangan senang. "Oh pasti Rei, kan?! Iya nih, pasti Rei! Kalo Rei emang bukan pembunuh, soalnya yang bunuh itu gue, hehe," lanjutnya dengan ceria.

Ketiganya langsung bingung, Qawi maju selangkah dan menatap Re dalam-dalam. "Lo...kepribadian ganda?" tanya Qawi begitu pelan.

Re semakin tertawa, lalu dia menggeleng heboh. "No no no, gue ga punya kepribadian ganda, Rei itu ada sendiri. Gue Re, Kakak kembarnya Rei sama Vano. Seharusnya lo semua kenal sama gue, inisial nama gue, kan, terkenal. AR, keren, kan?" jawabnya bertanya.

"Jadi, lo bukan Rei?" tanya Danu yang masih tidak percaya.

"Bukanlah! Kalo lo ga percaya sama gue juga ga papa, karena ga baik juga percaya sama manusia. Minggir kalian! Gue butuh dia untuk sesuatu." Mereka berempat langsung menoleh pandang ke arah yang ditunjuk oleh Re.

Tepat di belakang Danu, ada Fawaz yang hanya berdiri dan diam saja menatap mereka. "Nah, sekarang...di mana sang Ratu?" Pertanyaan yang dilontarkan Re tentu saja membuat mereka bingung.

Ratu?

Fawaz semakin menatap diam ke arah mereka, tangannya mengepal kuat, dan tanpa aba-aba dia berlari ke arah Danu dan menerjangnya. Tangannya dengan kuat mencoba mencekik leher Danu. Qawi dan Valdi langsung membantu untuk melepaskan Fawaz dari Danu.

Sedangkan Mario yang hendak menolong juga langsung ditarik oleh Re agar duduk kembali. Keduanya duduk dengan bersila sembari menatap bagaimana Qawi dan Valdi yang berusaha memisahkan Fawaz dan Danu. Re menyanggah dagunya menggunakan tangan kanannya, dirinya menghela napas dan menggeleng.

"Bosen banget, heran deh," ucapnya begitu saja.

Mario menoleh dengan sinis. "Dasar gila," sahut Mario.

Re menoleh dan tersenyum pada Mario. "Emang," balasnya sambil tertawa.

÷

"Ajun di mana?" Kainan bertanya saat dia membuka matanya, dia sudah berada di sebuah ruangan yang begitu asing menurutnya.

Hanya ada Gaffi di ruangan ini.

Gaffi menggeleng dan menahan bahu Kainan yang hendak bangkit. "Tetap di sini, ada alasan kenapa Ajun buat lo pingsan tadi. Dengan lo di sini, lo bakal aman." Bukan jawaban seperti itu hang Kainan inginkan.

Di lain tempat, Rei terus saja menggeret Kara ke arah rooftop gedung kantor kepala sekolah. Sedangkan Kara hanya bisa pasrah ketika di geret begitu saja. Dia baru saja bangun dari pingsannya padahal. Rei, Kara dan Arjuna sudah sampai di rooftop, Re langsung menghempaskan tubuh Kara hingga jatuh ke lantai. Sedangkan Arjuna hanya menatap dalam dia ke arahnya.

"Gue tahu apa yang coba ingin lo lakuin selama ini, jadi,gue tahu hari ini lo ulang tahun, 13 September, jadi...gue siapin hadiah buat lo, dan selamat ulang tahun Kara." Kara kebingungan, apa yang diucapkan Rei?

Netranya melirik ke arah Arjuna. Arjuna menunjuk ke arah belakang Kara, Kara pun menoleh, matanya membulat sempurna. Di sana, di belakangnya, ada seorang pria yang tengah terduduk—lebih tepatnya tengah terikat di kursi. Kara mengenalnya, sangat.

"Papa?"

Rei meneluk bahu Kara, lalu dia mengulurkan tangannya, Kara diam, dengan ragu dia mengambil tangan Rei dan bangkit dari jatuhnya. Matanya tepat menatap ke mata Rei, sorot tajam meneduhkan milik Rei berhasil membuat perasaan di hatinya bergejolak campur aduk. Kara semakin bingung saat Rei menjulurkan sebuah pisau silet di tangannya.

"Ingat kata kelompok komunis PKI saat menangkap para jendral? Salah satu dari mereka mengatakan ini, Darah itu merah, Jendral. Lalu mereka mulai menyayat tubuh jendral dan menaburi luka itu dengan garam." Kara masih tetap diam. Namun, tangannya mulai mengambil pisau silet itu dengan perlahan.

"Gue ga punya garam, tapi Ajun punya lemon. Iya, kan, Ajun?" Arjuna mengangguk dan mulai mengeluarkan lemon dari saku celananya.

"Kasih yang banyak, ya, Kara," ucap Arjuna dengan riang.

Rei kembali menepuk bahu Kara. "Lo boleh ambil hadiah lo sekarang." Tepat kalimat itu terucap, seolah digerakkan, Kara mulai berjalan mendekati sang Papa yang meronta-ronta.

Papanya diikat di kursi, mulutnya di lakban, Kara berhenti dengan jarak satu meter dari Papanya. "Pa, Kara boleh bilang satu hal?" tanyanya dengan lirih.

Kara menunduk, lalu mengangkat kepalanya. "Kara cuma mau bilang kalau Kara capek, Pa. Papa—bisa ngertiin Kara, ga?" tanya Kara lagi, dia mulai berjalan mendekati sang Papa.

Tangan kanannya tergerak untuk membuka lakban yang menutup mulut sang Papa. "Kara, Papa mohon, sadarlah, Nak. Papa, Papa akan ngertiin kamu mulai sekarang, Kara dengar Papa, kan?" Air mata Kara luruh begitu saja, tatapan kecewa yang terpancar dari netra legam milik Kara berhasil membuat sang Papa bungkam.

Kara menggeleng, dia meremat begitu kuat silet dan lemon di tangannya. "Kara, Kara, Papa mohon, Nak...kamu dengar Papa, kan?" Papa Kara menjatuhkan air dari matanya begitu saja, dia merasa jika dia sudah gagal sekarang.

"Kara udah capek, Pa,"lirihnya menjawab.

Arjuna merengut, dia ingin menangis tapi jiwa Ajun melarangnya. Tangannya mulai menarik ujung kemeja milik Rei membuat reamja itu menoleh.

"Papanya Kara itu Raja?" tanyanya.

Rei menggeleng, tangannya mengusak rambut Arjuna gemas. "Bukan, dia Ratunya dan Kara bidak Benteng kita. Hanya benteng yang mampu bersanding dengan Ratu saat pertandingan berlangsung," jawab Rei.

Arjuna mengangguk, lalu dia kembali menatap pemandangan miris di depannya. "Kasian, ya, tapi mereka pantas mati, sih, jadi gue ga kasian."













#halo wins!
How's your day?
Tengah malam up!

Gimana chapter ini?
Speechless? Iya dong wkkw

Next chapter 👉
Thanks for everything and I love you all 🖤

[✓] IT'S (NOT) METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang