Tan 2x = 2 Tan ~ / 1 - Tan² ~

1K 152 56
                                    

36. INM : AR BROTHERS

"Lo tahu? Dalam hidupnya, Rei cuma nangis sebanyak dua kali. Pertama, saat kematian Mama dan kedua, saat kematian Alvano."

Masih dengan posisi yang sama, kepala Rei menoleh ketika mendengar Re bersuara. Remaja itu berjalan begitu santai ke arah mereka, tangannya membawa sebuah pisau dan memainkannya layaknya mainan. Kemudian, remaja itu berdiri tepat di samping Rei dan tersenyum begitu manis ke arah Ayah Mario.

"Kasihan banget, kan?" lanjutnya bertanya. Wajahnya berubah, raut ceria itu berubah menjadi sendu.


Lalu Re menolehkan kepalanya ke arah Mario yang masih terduduk di lantai. "Broken home, huh?" tanyanya.

Rei mengangguk, lalu menegakkan tubuhnya. "Alvano bilang, apa pun yang kita rasakan, boleh kita lepaskan dan lampiaskan." Rei menjeda kalimatnya, dia menepuk bahu Mario membuat Mario mendongak. "Lampiaskan sekarang, buang seluruh kesedihan lo di sini," lanjutnya. Setelahnya kakinya melangkah mundur diikuti oleh Re.

Si kembar itu berhenti tepat di samping Kara yang hanya diam sebagai penonton. Kepala Mario terangkat, dia menoleh dan melakukan tatapan pada sang Ayah. Getaran di bibirnya mampu membuat lidahnya keluh, secara perlahan seolah ditarik oleh keadaan, tubuhnya mulai bangkit, langkah tertatihnya mulai menuju ke sang Ayah yang kian mundur menjauh.

Netra legam Ayahnya menatap sebuah benda yang dipegang oleh Mario, kepalanya menggeleng kuat. Dadanya berdenyut sakit, tatapan kecewa dan putus asa yang diberikan Mario dengan linangan air mata mampu membuatnya jatuh pada jurang tanpa dasar di dalam dirinya. Isakan penuh dengan sendat, air mata yang mengalir deras, Mario mulai mengangkat tangannya begitu tinggi ketika dia tepat berada di depan sang Ayah.

"Ayah, Mario...capek. Mario minta maaf, Ayah."

Gelengan brutal mulai diberikan sang Ayah, apakah dia akan mati di tangan putranya sendiri?

"Maaf, Nak."

Berakhir sudah, Mario sudah memutuskan untuk mengakhirinya ketika dia menancapkan dan menekan begitu kuat besi di dada sang Ayah. Tangis Mario pecah lebih besar, tubuhnya bergetar, dia memeluk tubuh Ayahnya begitu erat.

Tubuh yang mulai dingin tanpa hembusan napas, Mario memeluknya dengan begitu erat.

Valdi, Danu, Qawi dan Arjuna yang baru saja sampai langsung tertenggun ketika melihat pemandangan di depan mereka. Mereka melihat bagaimana rasa sakit yang dialami oleh Mario, tangisan yang terdengar pilu serta menyanyat indra pendengar. Qawi memalingkan pandangannya, setitik air mulai jatuh dari pelupuk matanya.

Sedangkan Arjuna hanya diam dengan tangannya yang meremas celana bahannya. "Ibu," lirihnya begitu pelan.

Rei menghela napasnya, dia mulai jam di tangannya, sudah pukul 1 malam. "Re, kita pergi sekarang, bawa mereka juga." Re mengangguk, dia berjalan mendekati Mario dan menarik anak itu agar melepas pelukannya.

"Ikut gue, percuma lo tangisin orang yang jadi penyebab rasa sakit lo, ga guna," ucap Re sambil menarik Mario yang mulai memberontak.

Karena merasa kesal, dia memukul tengkuk Mario membuat anak itu pingsan, dirinya mendengus. "Kalian bantu gue bawa dia, itu si Kara bawa juga, kecuali kalau kalian pengen kaya mereka ya ga masalah, sih." Setelah mengucapkan itu, Re pergi dari sana menyusul Rei yang sudah pergi duluan.

Valdi menoleh ke arah Arjuna dan Arjuna pun mengangguk. "Ikut aja, yuk. Bawa mereka, ya," kata Arjuna beranjak pergi setelahnya.

Mau tak mau, Valdi, Danu dan Qawi mau tak mau membawa Kara dan Mario pergi dari sana bersama mereka, ketiganya juga manusia, dan manusia memiliki keegoisan mereka tersendiri.

[✓] IT'S (NOT) METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang