Tan (-45⁰) + Sin 120⁰ + Cos 225⁰ - Cos 30⁰

1K 179 69
                                    

27. INM : MALAM YANG INDAH BAGI...


Kainan menghentikan langkah kakinya, dia menatap tak percaya dengan yang terjadi di depannya. Bibir Kainan terkatup rapat, kaki dan tangannya bergetar, matanya bergerak liar, keringat dingin membasahi pelipis hingga mengalir ke lehernya. Di rematnya boneka koala kecil di tangannya.

"A―ajun?"

Arjuna menoleh, wajah yang awalnya tanpa ekspresi itu kini berganti menjadi terkejut, mata bulatnya mengerjap cepat, pisau di tangannya jatuh begitu saja hingga menimbulkan dentingan besi yang beradu dengan batu. Bibir Arjuna melengkung ke bawah, kepalanya menunduk, matanya melihat tangannya yang sudah berlumur darah.

Kemudian Arjuna mendongak. "K―Kai? Ini ga kaya yang lo liat," ujar Arjuna sembari menggeleng. Nada suaranya begitu lirih.

Mata Kainan berkaca-kaca, tangannya semakin meremat kuat boneka koala. Arjuna melihatnya, tatapan kecewa yang ditunjukan oleh Kai membuat hatinya terluka. Bola mata Kainan bergulir melihat ke arah belakang Arjuna. Di sana ada Rei dan Gafii yang menatap keduanya tanpa raut ekspresi, kesannya seperti mengawasi.

Wajah Kainan memerah, dibuangnya boneka koala itu, sorotnya begitu tajam saat menatap keduanya. Setelahnya, Kainan pergi dari sana meninggalkan mereka. Setelah kepergian Kainan, Arjuna berjalan gontai ke arah boneka yang tergeletak karena di lempar oleh Rei. Air matanya jatuh, dia berjongkok mengambil boneka itu dan memeluknya.

"Ajun jahat," lirihnya sembari terisak.

Sejujurnya Gaffi merasa sangat tidak tega kepada Arjuna. Perasaannya dijadikan bahan eksperimen oleh sahabatnya sendiri. Gaffi melirik Rei yang berada di sebelahnya, lalu matanya membola saat melihat suatu cahaya yang begitu terang dari gedung 4.

"R―rei?" Rei menoleh ke arahnya, senyuman terbit di bibirnya.

"Oh, udah di mulai ternyata," ucapnya yang membuat Gaffi kehabisan kata-kata.

×

Valdi merenggangkan tangannya yang terasa begitu sakit, matanya bergulir melirik ke arah Qawi, Nadil dan Danu yang terbaring di lantai aula. Kondisi mereka begitu mengenaskan, memar kebiruan, darah yang sudah mengering di kepala, baju lusuh.

Valdi hendak berdiri, tetapi kakinya mati rasa, hantaman dan tusukan tongkat besi di betisnya membuat kakinya mati rasa. Napas Valdi tersengal, matanya memancarkan raut kecewa, terlebih saat remaja yang berada dihadapannya menggeret tongkat besi yang sama, berjalan santai ke arahnya.

"Kenapa lo lakuin ini?" Valdi bertanya kepada sosok dihadapannya.

Remaja yang ditanya itu menggeleng, tangan yang memegang tongkat itu bergetar, matanya bergulir ke sana kemari. "G―gue ga tahu," jawabnya dengan nada bergetar.

Namun, tangannya mengangkat tinggi-tinggi tongkat besi itu hendak menghantamkannya ke kepala Valdi. Qawi melihatnya, dia menyeret tubuhnya ke arah keduanya, kakinya juga tak bisa digerakkan.

Tangan Qawi terulur ke arah keduanya. "J―jangan," serunya bergetar. Dia semakin cepat menyeret tubuhnya. Namun, percuma saja, kakinya tidak bisa di ajak kerja sama.

"Val, gue minta maaf."

Mata Qawi membola sempurna begitupula sang pelaku. Pelaku tersebut hendak menundukkan tongkat besi tajam itu ke tubuh Valdi, tetapi tubuh seseorang menghalanginya.

"N―Nadil? Valdi tak percaya, Nadil berdiri di hadapannya untuk menahan tusukan itu, tetapi tetap saja, tongkat besi itu menembus tubuh Nadil dan menusuk perutnya. Keduanya memuntahkan darah mereka.

[✓] IT'S (NOT) METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang