Sin (90⁰ - x) = Cos x

1K 170 89
                                    

32. INM : ABOUT KARA

"Papa sudah membuat jadwal temu dengan dokter Huang, Papa juga sudah mengizinkan kamu keluar dari sekolah waktu pulang sekolah nanti, besok Pak Dadang yang akan jemput kamu." Kara meremat ponselnya begitu kuat, besok adalah jadwal check up nya.

Dan dia tidak menginginkan hal itu.

"Kara, kamu dengar Papa?"

Kara memejamkan matanya dan menghela napasnya pasrah, "Iya, Pa, Kara dengar," jawabnya dengan pelan.

"Yasudah, Papa akan kembali bekerja, pastikan Papa tidak mendengar sesuatu yang buruk seperti bulan lalu."

Sambungan telpon terputus, Kara membanting ponselnya di atas kasur, dia mengacak rambutnya... lebih tepatnya menjambak rambutnya sendiri, lalu kepalanya mendongak, berharap bulir air tak jatuh dari matanya. Namun, semuanya luruh begitu saja, seolah waktu tak mengizinkan dirinya, air matanya jatuh mengalir deras, suara yang dia tahan kini berlomba-lomba keluar tanpa jeda.

"Papa...Kara capek, Pa...," lirihnya dengan begitu pelan.

Tok...tok....

Suara Kara teredam, kepalanya menoleh ke arah pintu ketika ketukan pintu terdengar. Tidak bisakah waktu memberinya waktu untuk sendiri saat ini?

Dengan tubuh begitu lemas, Kara bangkit, langkah gontainya dia seret menuju pintu. Kedua tangannya menghapus jejak air mata yang tertinggal di pipinya, dia menghela napas, memejamkan matanya sejenak, lalu mengedipkan matanya beberapa kali—.

—untuk terlihat baik-baik saja.

Tangannya mulai membuka pintu kamarnya, pintu terbuka, seseorang di balik pintu itu tersenyum ke arahnya, itu Alvano, siswa 10-5 yang baru saja pulang dari olimpiade antara sekolah setelah satu minggu lamanya. Anak itu hanya memakai kaos putih lengan pendek dengan celana training hitam. Wajah tampan dan proporsi tubuh tinggi itu berdiri nyaman di depannya.

Wajah Alvano yang semula berseri kini mengerut bingung. "Lo—habis nangis?" tanyanya pelan.

Kara diam, dia ingin mengelak kalau dia tidak menangis, tapi dia tidak akan bisa berbohong dengan Alvano siswa terpintar di sekolah. Mungkin kalau Arjuna bisa dibicarakan. Arjuna itu polosnya udah nyerempet ke bego.

"Ada apa?" Bukannya menjawab, Kara malah bertanya.

Alvano mengedikkan bahunya, lalu menggeleng. "Ga ada, gue cuma mau ngunjungi lo doang," jawabnya sambil cengengesan.

Wajah Kara yang tanpa ekspresi sejak tadi, bertambah datar ketika mendengar jawaban dari Alvano. "Gue rasa kita tidak sedekat itu," balas Kara sembari menekankan kata tidak di kalimatnya.

Alvano mengangguk membenarkan. "Emang, sih, tapi gue mau kita jadi temen, emangnya lo ga capek ga punya temen di sekolah?" Kara semakin menatap Alvano dengan sinis.

Dia bukannya tidak kenal dengan Alvano, memangnya siapa yang tidak mengenal Alvano? Tapi yang dipermasalahkan oleh Kara adalah, Alvano bukanlah temannya, dan Kara juga tidak ingin berteman dengan siapa pun.

"Urusannya sama lo apa?" tanya Kara balik, dia sangat tidak menyukai jika ada orang yang mencampuri masalah pribadinya.

"Udah gue bilang, gue mau jadi temen lo, lo selain ga punya temen ternyata budek juga, ya? Gue gemesin gini masa ga mau temenan sama gue, Arjuna yang polos-polos begitu aja jadi sahabat gue," jawab Alvano begitu santai.

Kara berdecih. "Gue ga heran, sih, kenapa lo sama Arjuna bisa jadi sahabat. Arjuna itu polosnya nyerempet ke bego, sedangkan lo sangking pintarnya sampai ikutan bego juga." Kara membalasnya.

[✓] IT'S (NOT) MEWhere stories live. Discover now