16

1.3K 106 1
                                    

Hanna pulang pagi-pagi sekali setelah dijemput oleh minhyuk, ayah soobin. Bilangnya ingin pergi olahraga, berdua saja biar romantis kayak masa muda. soobin hanya mendengus jengah, yeonjun tertawa geli dan memberikan acungan jempol pada Ayah mertuanya.

Menurut dia itu romantis.

Roti panggang berlapis selai kacang menjadi sarapan pengganti mereka saat itu. Bi yuri tidak ada, jadi terpaksa makan seadanya. Soobin sibuk mengancingi kemeja, yeonjun diam memperhatikan. Dia sendiri sudah pakai seragam, tinggal sepatu dan tas saja yang belum terpasang.

“Kulkas kosong.” Ujar yeonjun memberitahu.

soobin menoleh, melipat lengan kemejanya sampai batas siku. “Kosong? Kalau gitu pulang sekolah kita belanja.”

“Katanya hari ini ada rapat guru.” Alis tajam soobin berkerut samar seolah sedang berpikir. Mencoba mengingat-ingat kembali perkataan yeonjun didalam benaknya.

“Gak ada rapat guru, diundur jadi besok.”

Yah, itu artinya tidak ada free-class.

Payah, padahal yeonjun sudah berharap hari ini seluruh jam pelajarannya kosong.

“Pake sepatu kamu, nanti telat.”

“Iya.” yeonjun membungkuk untuk memakai sepatunya, sedikit kesulitan karena di mulut masih ada sisa rotinya yang belum dikunyah apalagi tertelan.

“Habisin dulu rotinya, baru pake sepatu.” Diambil alih sepatu yeonjun oleh soobin. Pria itu berjongkok dihadapan yang lebih muda, memakaikan sepasang sepatu tersebut tanpa basa-basi hingga menarik simpul manis di kedua sudut bibir si empunya.

“Mas.”

“Apa?” soobin mendongak, melihat wajah yeonjun yang masih setia membungkuk dari tempat dia duduk.

“Masih sayang sama junnie?”

Pertanyaan aneh, apa masih harus soobin jawab? Pasti ada maksud terselubung kalau bocah ini sudah bertanya seperti itu. Dia yakin sekali.

Mengikat simpul akhir pada tali sepatu yeonjun, ujung bibir Soobin ikut tertarik membentuk senyuman tipis. Terlampau tipis sampai yeonjun sedikit ragu apakah dia benar-benar tersenyum.

“Mas sayang sama kamu, butuh bukti apa?”

“Gendong junnie sampai mobil, baru nanti percaya.”

Benar 'kan, rubah kecil ini pasti sedang ada maunya kalau sudah bertanya yang aneh-aneh.

“Kalau gitu harus ada imbalannya.”

“Imbalan apa?”

“Cium Mas lagi kayak tadi malem.”
.

.

.

Hal pertama yang menyambut pagi cerah yeonjun kala itu adalah suara teriakan hyunjin. Begitu cempreng seperti kaleng rombeng dan menulikan gendang telinga seisi kelas.

Yeonjun berdecak jengkel, menaruh tas miliknya ogah-ogahan tanpa mau menoleh pada hyunjin. Sebentar lagi, yeonjun hitung sampai tiga di dalam relung hati, diam-diam.

“Liat buku PR dong jun, please-”

“Gak, lo kerjain aja sendiri! Makanya otak tuh dipake buat mikir bukan buat pajangan doang!”

Hyunjin merengut sebal, menarik-narik ujung baju yeonjun jenaka disertai binar memelas bak anak kucing telantar. yeonjun mengerang gemas, ingin sekali mencekik hyunjin sampai mampus tapi tetap tidak tega.

“Jangan lama.” Memilih mengalah, yeonjun berikan buku tugas bersampul cokelat miliknya pada hyunjin.

Pemuda bermata sipit tersebut hanya cengengesan dengan binar bahagia. Meraih buku tugas yeonjun kelewat cepat untuk menyalin tulisan yang tertera, hyunjin melirik sesaat sebelum bertanya penuh tuntutan. “jun, lo nikah sama siapa?”

Happy MarriageWhere stories live. Discover now