44

892 62 9
                                    

Flashback 3




Mengetuk pinggiran meja dengan wajah gelisah, iris hazel Choi Yeonjun terus bergulir menatap siluet bayangan soobin dari balik sudut matanya.

Malam itu adalah hari perjodohan mereka. Nyaris saja debar jantung yeonjun terhenti seketika begitu tahu siapa calon suami yang akan dia nikahi nanti.

Bagaimana tidak?

Guru sejarah yeonjun sendiri yang dikenal galak dan pendiam, muncul tanpa aba-aba kemudian duduk berhadapan dengan dia disertai atmosfer mengerikan.

Yeonjun luar biasa takut, berusaha menahan diri agar tidak kencing di celana dan mengumpulkan nyali menatap netra kelam soobin. “A-a—”

“Kamu setuju sama pernikahan ini?”

Belum sempat dia bicara, pertanyaan sesat dari mulut minhyuk sudah
lebih dulu menghalangi. Soobin mengangguk tanpa penolakan apapun. Wajah dia tetap datar, menyesap minuman dari gelas selagi memindai gerak-gerik penolakan yeonjun tajam.

“Kapan pernikahan nya?” Sengaja!

Yeonjun tahu soobin sengaja mengajukan pertanyaan itu agar dia tidak bisa menolak. Sejeong dan hanna tersenyum kelewat lebar, sehun mengangguk penuh arti dan menepuk bahu anaknya pelan. “Secepatnya, yeonjun juga sudah siap.” ja

“Ayah—” Sejak kapan yeonjun sudah siap?

Wajah elok remaja tanggung itu
menekuk masam, lantas memainkan jemari tangan diatas meja sembari mencebik, menghujani soobin
umpatan. Sialan!

Hanna tersenyum diam-diam, menyenggol bahu putra semata wayangnya pelan sebelum mengedik, menunjuk si kecil di ujung meja sana. “Ajak ngobrol.”

Mengangguk sekilas, garis
pandang soobin lagi-lagi tertuju memandangi yeonjun. Sudut bibir dia berkedut, membuang napas panjang lamat-lamat dan berdiri mengejutkan semua orang. “Soobin—” minhyuk tidak tahu maksud tujuan anaknya saat ini.

Mata dia melotot, memberi peringatan agar sang anak itu duduk kembali. “Saya boleh bicara sama yeonjun sebentar?”

“Hah? B-bicara sama saya pak?”

“Hm, berdua.” ujar soobin memperjelas.

Keringat dingin jatuh membasahi
kening si manis, pikiran buruk serta
rentet nilai ulangan entah mengapa terlintas begitu saja menghantui batin yeonjun. “Y-yeonjun gak mau!”

“Kenapa?” Nada bicara soobin berubah dingin, jelas merasa tertolak oleh pengakuan sepihak remaja tanggung tersebut.

Sadar bahwa guru sejarahnya kian
marah, kepala bersurai hitam yeonjun kembali menunduk, menghindari tatap tajam soobin. Kuku jari dia beradu menimbulkan bunyi jentik samar.

Sejeong yang berada disamping kursi,
hanya tersenyum menasehati putra sulungnya. “Jangan kayak gitu dek,
sana ngobrol sama calon suami kamu.”

“Bunda~” dia merengek, menggenggam erat ujung baju Sejeong bagaikan anak kecil yang akan dibuang oleh orang tuanya ke pinggir jalan. Bukan bermaksud tidak sopan tapi yeonjun benar-benar takut acap kali berhadapan dengan soobin. Walau pertemuan pertama mereka cukup baik tapi bukan berarti hubungan mereka juga cukup baik.

Soobin selalu membentak dia saat di
kelas, bahkan ketika dirinya sedang bercanda dengan teman sebangku
(read, hyunjin) soobin tidak pernah melewatkan kesempatan itu untuk mengerjai yeonjun.

Lebih buruk lagi ketika pembagian
kerja kelompok, yeonjun selalu menjadi pilihan terakhir dalam memilih dan soobin selalu memindahkan dirinya pada golongan manusia culun.

Happy MarriageWhere stories live. Discover now