Bab 16

176 17 0
                                    

Billy baru teringat bahwa kedatangannya ke rumah sakit tanpa membawa buah tangan apapun. Ia buru-buru tadi dan tidak sampai berpikir untuk membeli sesuatu di jalan. Tapi, tak apalah, pikirnya. Lain kali ia bisa membawakan makanan kesukaan Edgar.

Billy membuka pintu kamar Edgar dengan gerakan pelan. Ia merasa tidak perlu mengetuk karena Edgar dan dirinya sudah sedekat itu.

Edgar masih terbaring di atas tempat tidur dengan kepala yang diposisikan lebih tinggi. Perban yang melingkar di kepalanya belum dilepas. Begitu juga dengan jarum infus di tangannya. Edgar tampak jauh lebih sehat dari yang terkahir kali Billy lihat. Ia bahkan sudah membuka matanya.

"Ed."

Pria yang biasa disapa Ed itu mengarahkan tatapannya ke pintu. Semenjak kakak perempuannya pamit beberapa menit lalu, ruangan Edgar terasa sepi. Jadi, ia hanya menerawang kosong ke jendela kaca yang tirainya terbuka setengah.

"Bil?" Senyum ceria seketika merekah di bibir Edgar saat ia melihat sosok Billy, sahabat sekaligus rekan seprofesinya datang berkunjung. Apalagi ia baru tersadar semalam. Ini seperti kejutan yang menyenangkan baginya.

Billy turut tersenyum senang. Pria itu menghampiri Edgar, lantas memeluknya tak begitu erat. Tangannya menepuk-nepuk ringan pada pundak Edgar.

"Selamat datang kembali, Teman. Aku bersyukur kamu sudah sadarkan diri. Kamu tahu, aku merasa sangat kehilangan kamu beberapa waktu belakangan," ungkap Billy setelah melepaskan pelukannya pada tubuh Edgar. Ia tak merasa canggung saat mengungkapkan perasaannya di depan Edgar. Billy memang setulus itu bersahabat dengan Edgar. Meski terkadang terjadi perbedaan pendapat, persahabatan mereka jauh di atas segalanya.

"Semua ini juga berkat doa-doamu," balas Edgar.

Billy menarik sebuah kursi ke dekat ranjang Edgar. Ia ingin berbasa-basi sebentar sebelum bicara pada intinya.

"Apa kamu merasa baik-baik saja sekarang? Apa masih ada yang sakit?"

"Seluruh tubuhku masih sakit. Tapi aku akan pulih secepatnya dan kembali pulang ke rumah," ujar Edgar tampak bersemangat.

"Jangan terlalu memaksakan diri. Kamu harus benar-benar pulih sebelum pulang ke rumah. Jangan sampai kamu menyusahkan semua orang," gurau Billy.

"Tenang saja. Aku tidak akan merepotkan semua orang," balas Edgar.

Apakah tak apa-apa jika Billy mengatakan hal itu sekarang? Kondisi mental Edgar tampak cukup bagus. Ia bahkan bisa balas bercanda seolah tak pernah terjadi masalah pelik dalam hidupnya.

"Sebenarnya apa yang terjadi saat itu? Bagaimana kamu bisa mengalami kecelakaan?" Sebelum sampai pada maksud dan tujuan Billy datang menemui Edgar, pria lajang itu melanjutkan basa basinya.

"Entahlah. Aku tidak bisa mengingatnya."

Saat kecelakaan itu terjadi, kepala Edgar pasti terbentur dengan keras, pikir Billy.

"Tentang lokasi kecelakaan? Apa kamu masih ingat?" desak Billy berusaha menginvestigasi. Ia hanya ingin tahu hal-hal yang berkaitan dengan kecelakaan itu.

"Sayangnya tidak. Aku tidak ingat saat itu aku mau pergi ke mana, dari mana." Edgar terlihat bingung dengan dirinya sendiri. Namun, Billy berusaha untuk memahami situasi yang dialami temannya. Mungkin hal-hal semacam itu kerap terjadi pada para penyintas kecelakaan.

"Mungkin itu hanya sementara. Setelah beberapa waktu aku yakin kamu bisa mengingatnya," hibur Billy.

"Ya, semoga. Tapi aku tidak berharap banyak bisa mengingatnya. Sebuah kecelakaan bukan peristiwa yang menyenangkan untuk dikenang, kan?"

"Ya, kamu benar." Billy mengangguk membenarkan ucapan sahabatnya. "Oh ya. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Aku harap kamu tidak terkejut saat mendengarnya."

Billy bersiap untuk memberitahu Edgar.

"Ada apa, Bil? Ada sesuatu yang penting?" Rasa penasaran mulai menghinggapi benak Edgar.

"Sebenarnya kedatanganku kemari untuk mengabarkan kalau Fiona mengajukan gugatan cerai," ujar Billy akhirnya. Ia harus mengatakannya tega atau tidak.

Edgar terdiam sesaat.

"Fiona? Siapa dia? Klien baru kamu?"

Billy tercekat. Pria itu melebarkan mata menyaksikan reaksi Edgar.

"Ed." Billy menyebut nama panggilan Edgar dengan wajah sepucat bulan kesiangan. Sementara pria di depan Billy hanya memasang wajah polos. Pemberitahuan Billy barusan sama sekali tidak menimbulkan reaksi terkejut pada Edgar. "Kamu tidak ingat Fiona?" tanya Billy ingin memastikan.

Edgar menggeleng perlahan setelah usaha mengingat yang ia lakukan tidak membuahkan hasil.

"Benar kamu tidak ingat Fiona?" tanya Billy sekali lagi. Ia harus mendapat kepastian sepasti-pastinya.

"Tidak."

"Mira?"

"Rasa-rasanya aku pernah mendengar nama itu, tapi aku lupa di mana." Jawaban Edgar terkesan rancu.

"Apa kamu ingat kasus terakhir yang kamu tangani?" Billy masih belum puas dengan jawaban Edgar dan ia terus menguji ingatan sahabatnya.

"Ya. Kasus penipuan arisan bodong, kan?"

"Astaga, Ed." Billy mendesis dan hampir menepuk jidatnya sendiri. Kasus arisan bodong itu terjadi beberapa tahun lalu. Apakah mungkin ada sesuatu yang salah dengan ingatan Edgar? Billy mencoba untuk menanyakan hal lain. "Berapa umurmu sekarang? Apa kamu sudah menikah?"

Alih-alih langsung menjawab rasa penasaran Billy, Edgar justru memuntahkan tawa kecil. Tingkahnya berhasil membuat Billy kesal setengah mati.

"Jawab saja pertanyaanku, Ed. Kumohon." Billy bahkan harus memohon agar Edgar tidak menunda lagi.

"Aku masih 28 tahun dan belum menikah," tandas Edgar penuh rasa percaya diri. Sedang Billy tampak syok berat mendengar pengakuan Edgar.

"Ada yang tidak beres dengan kepalamu, Ed."

Edgar melongo. Ia merasa baik-baik saja, tapi begitu melihat raut wajah Billy, Edgar merasa seolah-olah dirinya sedang menderita penyakit parah.

***

MY DANGEROUS WIFE season 2 (End)Where stories live. Discover now