4. Hanya Sandiwara

57 11 0
                                    

 "Di sini pas, nih," ujar sang fotografer sambil memandang dinding bebatuan dekat kolam renang.

 "Harus banget ya kita foto berdua? Nggak ajak yang lain aja gitu?" tanya Cinta ketus.

 "Boleh, nanti ajak yang lain," jawab fotografer itu. "Coba sekarang berdua dulu, ya."

 Cinta dan Aksa pun mengikuti arahan sang fotografer. Mereka mengambil beberapa foto, namun entah kenapa Cinta sulit sekali untuk tersenyum. Terakhir, sang fotografer meminta Cinta berpegang pada lengan kiri Aksa. Gadis itu ragu, namun akhirnya berpegang juga karena Aksa menempatkan tangan Cinta di lengannya dengan sedikit paksaan.

 Cinta terkejut dan reflek memandang Aksa, ketika itu Aksa pun memandang Cinta sambil tersenyum. Pose yang sangat bagus bagi sang fotografer itu segera di abadikan. Tak lama setelahnya Cinta menurunkan tangan dari lengan Aksa. Cinta melipat kedua tangan di depan dada sambil mengalihkan pandang ke arah lain.

 "Wah, yang terakhir cakep nih. Serasi banget," puji fotografer itu. 

 Aksa mendekat dan melihat-lihat hasil fotonya. Pria tampan itu tampak tersenyum samar, membuat rasa gengsi Cinta kalah oleh rasa penasaran. Akhirnya Cinta pun mendekat untuk melihat foto-foto itu juga.

 "Udah kaya prewed. Kapan nyusul nih?"

 Pertanyaan fotografer itu membuat Cinta dan Aksa sedikit terkejut. Keduanya saling pandang sekilas. Cinta bingung harus jawab apa. Sedangkan Aksa, pria itu menghela nafas sebelum menjawab.

 "Maaf, dia adik saya."

 Jawaban Aksa membuat Cinta memandang Aksa dengan tajam.

 "Oh, maaf. Saya kira kalian ini…"

 "Aku kesana duluan," sela Cinta sambil beranjak pergi.

 "Makasih ya, Mas," ucap Aksa pada fotografer itu sebelum pergi.

 Cinta masuk ke dalam villa. Aksa setengah berlari menyusul gadis itu, namun langkahnya terhenti ketika berpapasan dengan beberapa tamu undangan yang baru saja tiba. Aksa kehilangan jejak Cinta karena harus menyapa mereka lebih dulu. 

 Cinta sampai di lantai dua. Ketika hampir mencapai pintu kamar, ia tak sengaja mendengar ucapan seorang wanita di kamar pengantin. Langkah Cinta benar-benar terhenti kala mendengar nama ibu kandungnya disebut. 

 "Yasmine punya anak gadis yang cantik. Mukanya mirip pula sama dia."

 "Ya, kamu bener, Nov. Wajahnya selalu ngingetin aku sama Yasmine. Tapi aku harus mengabaikan itu demi tujuanku."

 Kalimat yang diucapkan Mayang membuat kening Cinta berkerut. Gadis itu mendekat ke pintu dengan hati-hati, mencoba mendengarkan lagi percakapan selanjutnya. Cinta bisa melihat Mayang dan temannya dari pintu yang sedikit terbuka.

 "Kamu tu, ya. Licik banget tahu nggak? Kamu deketin anaknya biar bisa dapet hati ayahnya."

 Terdengar suara tawa Mayang, kening Cinta semakin berkerut. Gadis itu mencoba menajamkan telinga dan menempel ke pintu.

 "Bukannya kamu yang pernah bilang, nggak ada yang nggak mungkin kalau berusaha lebih keras. Dan akhirnya aku bisa dapetin mas Aris setelah sekian lama."

 "Coba kalau dulu kamu nggak ngenalin Yasmine ke Mas Aris. Mungkin hidupmu nggak akan semenderita itu."

 Mayang mengangguk-angguk, "Aku nggak nyesel dengan pernikahanku yang dulu, karena aku punya Aksa."

 "Habis ini kamu sama Aksa tinggal di rumah Mas Aris?"

 "Rencananya sih gitu."

 "Wah, ceritanya bakal seru kaya dongeng Cinderella nggak nih?"

 Mayang tertawa, "Apa sekarang aku harus jadi ibu tiri Cinderella?" 

 "Jadi, kamu masih dendam sama Yasmine?"

 Cinta terkejut, ada rasa marah di hati ketika mereka membicarakan mendiang sang ibu seperti itu. Cinta merasa sudah cukup, ia tak ingin mendengar lebih banyak. Mengingat sang ibu tentu saja membuat hatinya begitu sedih. Ditambah lagi ternyata Mayang tidak tulus dengan berpura-pura baik selama ini.

 Cinta berbalik, ia melangkah pelan tanpa tujuan. Pikirannya kini dipenuhi dengan prasangka negatif. Cinta mengingat bagaimana selama ini Mayang begitu perhatian. Mayang hafal semua makanan dan minuman yang Cinta suka dan tidak suka. Bahkan sangat mengerti selera pakaian yang Cinta inginkan ketika mereka berbelanja. Cinta pikir Mayang adalah sosok yang bisa dijadikan sandaran selain Ayahnya, kini semua berubah.

 Hal lain yang Cinta pikirkan, sebuah dugaan yang tiba-tiba terbesit di otaknya adalah tentang Aksa. Cinta mengingat dari awal pertemuannya dengan Aksa hingga hari di pasar malam itu. Cinta menggeleng, ia berhenti di bawah anak tangga menuju lantai tiga. Air mata sudah membendung di pelupuk mata, namun sekuat tenaga gadis itu menahannya.

 "Apa mungkin Kak Aksa juga rencanain hal itu? Dia sengaja mau mainin aku? Karena ibunya?" monolognya dalam hati.

 Cinta mulai menaiki anak tangga dengan pandangan kosong, langkahnya pelan hingga sampai di lantai tiga. Cinta melihat ke sekeliling, ada satu pintu yang terbuka. Gadis itu mendekat, ada sebuah balkon kecil dengan pemandangan pohon pinus.

 Cinta berdiri memegang pembatas balkon, menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ia mencoba menenangkan diri, bagaimanapun ini adalah hari bahagia sang ayah. Cinta menitikkan air mata, namun hanya sedikit. Gadis itu menyusut ingus beberapa kali. Setelah merasa sedikit tenang, ia berbalik.

 "Kamu ngapain sendirian di sini?"

 Keberadaan Aksa cukup mengagetkan Cinta. Cinta tak menjawab, ia melangkah melewati Aksa yang berdiri di depan pintu. 

 "Kamu baik-baik aja?" tanya Aksa.

 Cinta berhenti, lalu berbalik. Ditatapnya pria bermata besar itu dengan menahan emosi.

 "Baik-baik aja? Kamu pikir setelah apa yang kamu dan ibu kamu lakukan, aku baik-baik aja?" tanyanya dalam hati dengan kedua tangan mengepal.

 "Pakai sepatu kamu. Kita ke bawah buat foto keluarga."

 Cinta ingat, tadi ia meninggalkan sepatunya di bawah tangga. Ia pun segera pergi meninggalkan Aksa. Ketika mencapai tangga untuk turun, langkahnya menjadi lambat, sedangkan Aksa semakin dekat. Cinta tak bisa menjauh lagi, dan akhirnya keduanya sampai di lantai dua bersama-sama. 

 Aksa menunggu Cinta yang sedang memakai sepatu. Cinta melihat Aksa yang berdiri tak jauh darinya, ia terdiam memperhatikan kakak tirinya. Hari ini pria tinggi itu memang terlihat sangat gagah, hingga membuat Cinta sejenak terhanyut dan melupakan kekesalannya. Cinta pun tersadar ketika Aksa berbalik dan memandangnya. Kini Cinta malah salah tingkah.

 "Ayok," ajak Aksa sembari mengulurkan tangan.

 Cinta tak menggapai uluran tangan Aksa, melainkan berpegang pada railing tangga. Setelahnya Cinta melangkah lebih dulu, sedangkan Aksa hanya menggeleng sebelum menyusulnya.

 Sesi foto keluarga pun dimulai, namun Cinta enggan untuk tersenyum. Bahkan sang fotografer mengulang beberapa kali karena ekspresi Cinta yang sangat datar. 

 "Sayang, kamu kenapa?" tanya Mayang menyadari gelagat Cinta yang tampak tak bersemangat.

 "Kamu sakit?" tanya Aris sambil memegang pundak sang putri. 

 Cinta menggeleng, "Lagi PMS," jawab Cinta dengan sedikit senyum.

 "Oh, ya udah. Kamu tiduran aja gih," timpal Mayang.

 "Iya, kamu istirahat aja." Aris sependapat.

 "Yah, aku boleh ijin pulang duluan nggak?" tanya Cinta hati-hati.

 "Pulang? Nanti di rumah malah sendirian."

 "Gampang, nanti aku minta Sandra ke rumah. Aku nggak nyaman disini. Aku butuh tempat yang tenang buat istirahat."

 "Ya udah, kamu pulang sama pak Sodik ya."

 Cinta pun mengangguk sambil tersenyum. Ia lalu meninggalkan area pesta dan pergi ke kamar.

 "Hari ini kalian boleh tertawa, tapi besok jangan harap," ucap Cinta dalam hati ketika melihat Mayang, Aksa, dan Ayahnya sedang foto bertiga dengan senyum lebar. 

AKSA dan CINTAWhere stories live. Discover now