14. Tanpa Pamit

45 10 0
                                    

 Setelah kejadian yang menimpa Mayang, Cinta berusaha bersikap lebih baik terhadap ibu tirinya itu, sedangkan Mayang menanggapinya dengan senang hati. Berbeda dengan Mayang, Aksa tampaknya masih belum memaafkan Cinta. Sudah berhari-hari Aksa tak menghiraukan Cinta. Ketika berpapasan di tangga pun Cinta seolah makhluk tak 

kasat mata bagi Aksa. Aksa bahkan tak sudi menyapa ataupun hanya memandangnya meski sekilas.

 Usai makan malam Cinta membantu Bik Sumi membereskan meja makan. Saat ini Cinta sedang rajin-rajinnya melakukan pekerjaan rumah demi merebut hati sang ayah. Menjadi bandel dan pembangkang sepertinya tak berhasil untuk menarik perhatian ayahnya, jadi Cinta memutuskan menjadi dirinya yang dulu.

 "Udah, Mbak. Biar bibik yang selesaikan. Mbak Cinta antar teh ini saja ke ruang tengah." Bik Sumi menunjukkan tiga cangkir teh di nampan.

 "Siap, Bik." Cinta menyanggupi dengan senang hati.

  Cinta melangkah menuju ruang tengah dimana Aris, Mayang, dan Aksa tampak sedang bicara serius di sana.

 "Gimana persiapan kamu, Sa?" tanya Aris.

 "Alhamdulillah sudah siap semuanya, Yah," jawab Aksa dengan senang.

 "Ibuk rasanya masih gimana gitu, Kak. Tiba-tiba cepet banget kamu harus terbang ke London," ujar Mayang sambil menggenggam tangan sang putra.

 Cinta yang mendengar itu begitu terkejut, bahkan tangannya gemetar sampai-sampai tiga cangkir teh di nampan hampir tumpah.

 "Dek," panggil Aris yang menyadari kehadiran Cinta. 

 Aksa dan Mayang menoleh ke belakang, memperhatikan Cinta yang kembali melangkah dengan susah payah. Gadis itu memasang senyum palsu, meletakkan satu per satu cangkir teh ke meja. Begitu ketiga cangkir teh tersaji, Cinta hendak melangkah pergi.

 "Dek, sini dulu," panggil Aris.

 Cinta menoleh, ia melihat ke arah Mayang yang tersenyum ke arahnya, lalu beralih ke Aksa yang kini mengalihkan pandang.

 "Maaf, Yah. Cinta ada tugas yang harus segera dikerjain," bohongnya, lalu segera berbalik dan melangkah cepat.

 Cinta terus memikirkan pembicaraan Aris, Mayang, dan Aksa, namun enggan bertanya lebih jauh. 

 Hingga hari keberangkat Aksa pun tiba. Cinta lebih memilih pergi ke kampus daripada pergi ke bandara mengantar sang kakak tiri bersama Ayah dan ibu sambungnya. Cinta pikir Aksa pasti tak sudi dirinya berada di sana.

 Cinta langsung kembali ke rumah setelah dari kampus. Gadis itu langsung menuju ke kamar Aksa. Cinta terdiam di depan pintu beberapa saat, memandang bekas tempelan kertas yang dibuatnya dulu. Setelahnya Cinta naik ke loteng. Sampai di loteng, Cinta merebahkan diri di sofa. 

 "Hah…." Cinta menghela nafas panjang sambil memejamkan mata. "Jam berapa sih?" tanyanya pada diri sendiri sambil bangun. 

 Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas. Tiba-tiba saja Cinta teringat bahwa Aksa akan benar-benar meninggalkan Indonesia pukul satu nanti. Cinta kembali menghela nafas, berbalik dan hendak berbaring lagi, namun tak jadi. Cinta memperhatikan sebuah kertas kecil berwarna pink yang tertempel di kalender meja. Ada tulisan di kertas itu, jelas itu bukan tulisannya. 

 "Apaan sih?" Cinta mengambil kertas itu, lalu di bukanya.

Gelangnya jadi aku ambil, ya. Makasih adekku yang baik hati.

 Tiba-tiba degup jantungnya semakin kuat, tangan Cinta gemetaran. Ia mengecek isi kotak transparan itu, mencari gelang manik-manik yang waktu itu ditawarkannya pada Aksa. Gelang itu benar-benar tak ada. Jadi waktu itu Aksa mau menerimanya? Cinta memegang dada yang terasa sesak karena menahan tangis. Cinta buru-buru mengambil ponsel dan dompetnya dengan panik, kemudian berlari keluar rumah.

 Sampai di depan rumah, Cinta kebingungan. Ia melihat ke arah tukang ojek, namun tiba-tiba saja dari arah yang sama Alex muncul dengan motor sport nya.

 "Woi, Cin! Lagi ngap…"

 "Buruan anter gue!" sela Cinta yang mengambil helm di motor Alex begitu saja.

 "Mau kemana?!" tanya Alex dalam perjalanan.

 "Ke bandara!" jawab Cinta kencang.

 "Nyusul Bang Aksa?! Ada yang ketinggalan?!" tanya Alex lagi, dan tak mendapat jawaban dari Cinta.

  Begitu turun dari motor, Cinta segera berlari. Disusul Alex yang yang kemudian meraih lengan Cinta agar gadis itu berhenti.

 "Tenang, Cin. Jangan panik. Bang Aksa pasti masih di sini."

 Cinta hanya mengangguk cepat, raut wajahnya masih benar-benar panik. Alex memegang kedua pundaknya sampai nafas gadis itu mulai teratur.

 "Kita lihat jadwal penerbangan dulu," usul Alex sembari menarik Cinta agar mengikutinya.

 Setelah melihat jadwal keberangkatan, Alex bergegas pergi dari tempat itu, dan masih berpegangan dengan Cinta. Cinta melihat area check in dengan panik. Gadis itu masih tak menemukan Aksa, ayahnya, maupun sang ibu tiri. 

 "Lo kesana, gue ke sini," usul Alex.

 "Oke," jawab Cinta sambil mengangguk.

 Keduanya pun berpisah. Kali ini Cinta tidak berlari karena ingin melihat lebih teliti. Cinta tak menemukan juga hingga dirinya putus asa dan hampir menangis. Gadis itu berjalan lemas, rasanya seperti sudah tak ada harapan. Di saat itulah Cinta mendengar suara yang tak asing.

 "Jangan lupa kalau udah sampai langsung kabarin Ibuk."

 "Iya, Buk. Nanti Aksa telfon." Aksa kemudian berpelukan dengan sang ibu. "Titip Ibuk ya, Yah."

 "Pasti. Kamu baik-baik di sana. Ayah sama Ibuk bakal berkunjung."

 Aris juga memeluk Aksa. Melihat itu membuat hati Cinta sangat lega. Air matanya pun luruh, dan saat itulah Aksa melihat keberadaan Cinta. Pandangan Aksa dan Cinta bertemu, namun tak lama kemudian Cinta berbalik dan bersembunyi. Aksa hendak memanggil, namun tak jadi karena ia harus segera pergi.

 Cinta menghapus air matanya, setelah itu ia keluar dari persembunyian agar bisa melihat Aksa untuk terakhir kali. Cinta memandang punggung Aksa yang sudah berjalan menjauh. Tiba-tiba Aksa berhenti, lalu menoleh untuk mencari keberadaan Cinta. Hati Aksa merasa sedikit lega ketika melihat wajah Cinta. Aksa pun kembali melangkah, namun masih ada perasaan yang mengganjal karena tak berpamitan pada adik tirinya itu.

 Cinta menunduk dan berbalik. Di hadapannya sudah ada Alex yang merentangkan tangan siap memeluknya, namun Cinta hanya mendorong pelan Alex sembari melewatinya.

 "Cin, Cinta tunggu!"

 Malam itu Cinta tak bisa tidur. Ia terus melihat ke arah kamar Aksa. Setelah memastikan tak ada seorang pun di lantai dua, Cinta pergi ke kamar Aksa. Dilihatnya satu-persatu bagian dari kamar bernuansa biru itu, semuanya tampak sangat rapi seperti biasa. Cinta duduk di kursi, tangannya mengusap meja sebentar.

 "Kenapa kamu pergi seperti ini, Kak? Tanpa pamitan sama aku?" gumamnya sambil menatap foto Aksa di atas meja.

 Cinta mengambil bingkai foto itu, itu foto Aksa bersama teman lelakinya entah siapa. Air mata Cinta menetes, jatuh ke foto yang di pegangnya. Tangis Cinta pecah, di saat bersamaan hujan turun begitu derasnya. Mengingat pertikaian dengan Aksa selama ini membuat perasaannya semakin sedih.

 "Aku bahkan belum minta maaf dengan benar, Kak," ucapnya sambil sesenggukan.

AKSA dan CINTAWhere stories live. Discover now