38. Janji Aksa

17 4 1
                                    

 Sejak pagi Aksa begitu sibuk dengan serangkaian jadwal yang padat, hingga dirinya belum menyapa Cinta atau bahkan sekedar tersenyum dengan hangat seperti biasa. Aksa hanya meminta Cinta membuatkan kopi, menyiapkan berkas, lalu menyampaikan jadwal berikutnya tanpa menatap gadis itu. 

 Cinta tampak mengerucutkan bibir ketika keluar dari ruangan. Ia paham jika di posisi ini dirinya harus profesional. Tapi entah kenapa rasanya tak seperti biasa. Sejak tamu bulannya datang hingga kini telah lewat, perasaan dan pikirannya begitu sensitif dan sulit dikendalikan. Belum lagi ancaman dan teror yang diterimanya hingga pagi tadi.

 “Cinta, tolong kamu buat teh ya,” pinta Jehan ketika gadis itu kembali dari toilet.

 “Iya, Pak,” jawab Cinta yang kemudian melihat ke dalam ruangan Aksa.

 “Di dalam ada Pak Wiraharja dan Bu Rahajeng, jadi kamu bikin tiga ya.” ucap Jehan menjelaskan.

 Cinta mengangguk, kemudian segera pergi ke pantry. Setelah tiga cangkir teh siap, gadis itu pun membawanya ke ruangan sang CEO. Di sana tampak seorang pria tua berkacamata, berjenggot, rambutnya beruban, duduk di kursi roda. Lalu disisi kanannya adalah Rahajeng, sedangkan Aksa duduk di sebelah kiri. Tentu Vinta tahu jika pria tua itu adalah Pak Wiraharja pemilik Tresna grub, tanyak lain adalah kakek Aksa. Pak Wira dan Ajeng terdengar sedang berbicara.

 “Permisi, Pak, Buk,” ucap Cinta lirih yang tampaknya tak didengar kecuali Aksa yang hanya melihatnya arahnya sekilas.

 “Gimana kalau kita mempercepat pertunangan kamu dan Raisa?”

 Pertanyaan Rahajeng sangat mengejutkan Cinta. Sangking terkejutnya teh panas di cangkir itu hampir tumpah. Pandangan Cinta dan Aksa bertemu, namun Cinta segera menunduk. Cinta menarik nafas, berusaha tetap tenang meski kini kedua tangannya masih gemetar. Sementara itu Aksa telah bangun dari duduknya, lalu membantu Cinta menyajikan teh untuk kakek dan tantenya.

 “Makasih, ya Cinta,” ucap Ajeng ramah.

 “Oh, ini sekretaris Aksa?” tanya Wiraharja sambil melihat Cinta sebentar.

 Cinta berusaha tersenyum dengan susah payah, sementara tangannya kini memegang nampan dengan erat. Gadis itu menarik nafas dalam-dalam sebelum bicara.

 “Perkenalkan, Pak. Nama saya Cinta,” ucapnya dengan nada bergetar.

 Wiraharja langsung tertawa menanggapi tingkah Cinta, sedangkan Ajeng hanya tersenyum. Pria tua itu pikir sekretaris cucunya itu hanya sedang grogi. 

 “Permisi, Pak, Buk.”

 Cinta segera keluar dari ruangan dan langsung pergi ke pantry untuk mengembalikan nampan. Gadis itu berjalan cepat tanpa memperhatikan sekitar karena perasaannya sangat kacau. Dan ketika hendak meletakkan nampan, benda pipih itu terjatuh karena tangan Cinta masih gemetar. Ia terkejut sendiri dengan suara benda yang tak sengaja dijatuhkannya itu.

 Cinta memegang meja, menghirup nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan.  Ia melakukannya berulang kali, berharap merasa lebih baik. Namun pikirannya tentang Aksa terus mengganggu. Cinta berjalan mondar-mandir sambil menggigit-gigit kuku jarinya.

 “Aku nggak salah denger, kan? Tunangan sama Bu Raisa? Kenapa tiba-tiba kaya gini? Apa ini sebabnya Kak Aksa sering pergi sama Bu Raisa?”

 Cinta pun duduk, lalu menenggak segelas air. Cukup lama gadis itu berdiam diri di sana.

 “Kenapa Kak Aksa nggak ngomong apa-apa?”

 Setengah jam telah berlalu, dan akhirnya Cinta beranjak meninggalkan pantry. Ketika sampai di koridor, ia melihat Wiraharja dan Rahajeng masuk ke lift bersama dua pria berpakaian hitam yang tak dikenalnya. Cinta pun menghela nafas, kemudian kembali melangkah menuju ruang kerjanya. 

AKSA dan CINTAWhere stories live. Discover now