Perubahan Sikap.

205K 11.2K 352
                                    

Sebelum lanjut jangan lupa;

Vote.

Komen.

Dan Follow.

Lopyuuu💕

Ok next!

Tepat pukul sepuluh pagi Ayra memutuskan untuk menemui Gus Rayyan di kampusnya, Ayra tak sengaja melihat ponsel suaminya itu masih tergeletak di atas nakas yang berada di dalam kamar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tepat pukul sepuluh pagi Ayra memutuskan untuk menemui Gus Rayyan di kampusnya, Ayra tak sengaja melihat ponsel suaminya itu masih tergeletak di atas nakas yang berada di dalam kamar. Awalnya umma tidak memberikan izin untuk Ayra pergi, mengingat Ayra tengah hamil membuatnya khawatir akan keadaan menantunya itu. Tapi Ayra tetap kekeuh memaksa dengan alasan itu adalah kemauan anaknya, hal itu yang membuat umma mau tak mau mengiyakan permintaan Ayra dengan syarat umma ikut dan akan di antar oleh Kafka.

Di sepanjang jalan, bibir Ayra tak berhenti tersenyum seraya menatap pohon-pohon yang menurutnya masih sangat asri dibandingkan dengan kotanya yang sudah padat dengan bangunan-bangunan kokoh yang tinggi menjulang. 

Tak lama, mobil yang mereka tumpangi itu berhenti tepat di depan sebuah gerbang universitas, netranya menatap sekitar pada mahasiswa yang berlalu lalang. Ayra tersenyum, jika saja ia belum menikah, mungkin ia masih bisa melanjutkan pendidikannya seperti para mahasiswi itu, tapi Ayra mengenyahkan pikirannya, bahwa keadaannya sekarang patut ia syukuri, terlebih dirinya yang saat ini tengah mengandung buah hati cinta mereka.

Ayra meminta umma dan Kafka untuk tetap menunggu di mobil mengingat Ayra tidak akan berlama-lama di sini. Lagi-lagi Ayra berdecak kagum melihat bangunan megah kampus tempat suaminya itu mengajar, sampai ia lupa untuk menanyakan pada umma ataupun Kafka dimana letak ruangan Gus Rayyan.

"Ini gue harus kemana?" gumam Ayra, seraya melangkah pelan, saat tengah asik dengan pikirannya, Ayra dikejutkan dengan seorang mahasiswi yang tiba-tiba mengiringi langkahnya.

"Saya lihat kamu kayak lagi nyari seseorang. Nyari siapa, Dek?"

Ayra menghentikan langkahnya.

"Nyari ruangan Pak Dosen, Kak." 

"Siapa namanya kalau boleh tahu?"

*Muhammad Rayyan Al-Hafidz."

"Oh Pak Ray, mari saya antar."

Ayra tersenyum menanggapi itu, ia mengikuti langkah mahasiswi itu yang membawanya sampai di depan sebuah ruangan yang ia tebak ini adalah ruangan Gus Rayyan.

"Sepertinya beliau masih ada kelas, kamu tunggu di sini dulu nggak papa, kan? Tadi juga ada yang mau bertemu dengan beliau, tapi mungkin orang itu udah pergi. Maaf saya harus pergi karena ada kelas juga." ujar mahasiswi itu.

Ayra menganggukan kepalanya. "Nggak papa, Kak. Sebelumnya, terima kasih banyak."

Mahasiswi itu tersenyum, kemudian melangkah pergi meninggalkan Ayra di depan ruangan Gus Rayyan seorang diri.
Tak lama, Ayra merasa bosan menunggu Gus Rayyan yang tak kunjung kembali. Ayra mencoba meraih handle pintu ruangan suaminya, ia terbelalak, ruangan itu terbuka. Ayra menggelengkan kepalanya mengingat Gus Rayyan yang ceroboh meninggalkan ruangannya tanpa kunci. Ayra memilih masuk dan menunggu Gus Rayyan di dalam ruangannya. Ayra mengernyitkan dahinya ketika melihat tumpukan cake yang tertata rapi di atas meja ruangan, ia memutari meja itu dan matanya tak sengaja melihat ke arah tong sampah yang berada dekat di bawah meja.

"Kenapa kemejanya di buang di sini?" Ayra mengingat-ingat kemeja yang ia pegang, bukankah kemeja ini yang Ayra siapkan tadi pagi? kenapa di buang? Pikirnya.

Deg!

Seakan dihujam ribuan panah, rasanya jantung Ayra berhenti berdetak ketika melihat sebuah tanda bibir yang melekat di bagian depan kemeja Gus Rayyan, Ayra menggelengkan kepalanya tak percaya pada apa yang ia lihat saat ini. Ia mengingat ucapan mahasiswi tadi yang memberitahunya jikalau ada yang mencari Gus Rayyan sebelumnya. Ayra pikir itu adalah rekan Gus Rayyan ataupun mahasiswanya, tapi ternyata dia adalah seorang perempuan? Tapi siapa? apa itu mahasiswinya sendiri? Ayra menggelengkan kepalanya yang terasa berat, tidak mungkin Gus Rayyan mengkhianatinya, kan?

Kedua matanya tampak berkaca-kaca, air mata itu kembali berdesakan untuk keluar, hatinya berdenyut sakit mengingat orang yang ia percaya, apakah benar-benar mengkhianatinya?  Ayra memegang perutnya yang sedikit kram, air mata itu terjatuh.

"Kamu ikut merasakan apa yang umma rasakan ya, Nak?" Ayra mengelus perutnya pelan.

"Abba kamu nggak mungkin seperti itu, kan?" lirihnya, menatap beberapa cake di atas meja.

Ayra mengusap air matanya, ia tidak mau umma dan Kafka melihatnya dalam keadaan seperti ini. Ayra melipat kemeja itu dan memasukannya ke dalam tas yang ia bawa, setelah itu Ayra memilih keluar ruangan dan menuju ke parkiran tempat dimana umma dan Kafka menunggu. 

"Sudah, sayang?" tanya umma, ketika Ayra memasuki mobil.

Ayra tersenyum kecil.

"Sudah, umma." Setelahnya Ayra memilih diam dengan segala pikirannya yang berkecamuk, Kafka yang melihat dari kaca depan merasa heran dengan sikap Ayra sekarang. Bukan kah sebelum ini Ayra tampak ceria?

"Mbak kenapa?" tanya Kafka melihat Ayra dari kaca depan.

Ayra menoleh dan melihat mata Kafka dari depan sana.

"Gak kenapa-kenapa, Ka." Ayra tersenyum, namun Kafka melihat ada kerapuhan di dalam senyum itu, begitu juga dengan umma yang menyadari perubahan sikap menantunya itu.

***

"Mas bawa apa?" Tanya Ayra, melihat cake yang sama persis seperti apa yang ia lihat di meja Gus Rayyan pagi tadi.

"Mas tadi mampir sebentar, dan beli ini, Ay. Kamu mau?"

Ayra tersenyum, ia meraih jas yang Gus Rayyan bawa beserta tas nya. Kemudian Ayra mengalihkan tatapannya pada jam yang kini menunjukkan pukul dua siang.

"Mas baru beli?"

Gus Rayyan menganggukkan kepala, hati Ayra memanas melihat anggukan itu. 

"Kamu bohong, Mas." batinnya.

"Sebentar, biar mas siapkan dulu."

"Gak perlu." Ayra menghentikkan langkah Gus Rayyan.

"Kamu nggak mau?"

Ayra menggelengkan kepala.

"Aku nggak terlalu suka yang manis-manis."

Gus Rayyan mengernyitkan dahinya.

"Sejak kapan? mas sering lihat kamu jajan coklat, Ay."

"Itu kemarin, sekarang nggak suka."

Gus Rayyan menatap Ayra lekat, ia merasa ada yang berbeda dari Ayra.

"Kamu kenapa?"

Ayra hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.

"Mas bersih-bersih dulu gih, biar aku taruh ini." Ayra menunjukkan jas serta tas kerja milik Gus Rayyan yang berada di tangannya, kemudian berlalu ke kamar. Hatinya teriris ketika Gus Rayyan tidak berusaha menjelaskan apa-apa, ia merasa sangat kecewa pada suaminya itu yang lebih memilih untuk berbohong.

***

Setelah Gus Rayyan membersihkan tubuhnya dan hendak mengajar kajian di masjid, ia dikejutkan dengan perubahan Ayra untuk yang kesekian kalinya. Ayra yang biasanya akan menyiapkan segala keperluannya, kali ini justru mengabaikannya dan memilih berangkat lebih dulu ke masjid.

"Aku berangkat dulu, nanti malam aku izin tidur di asrama." Ayra meraih tangan Gus Rayyan dan menyalaminya, setelahnya ia langsung melangkah ke arah pintu tanpa menunggu jawaban dari Gus Rayyan.

Hati Gus Rayyan berdenyut nyeri melihat Ayra yang terkesan tidak mempedulikannya, ia segera menghentikan langkah Ayra dan memeluk istrinya itu dari belakang.

"Sayang, kamu kenapa?" Ayra melepaskan tangan Gus Rayyan yang bersarang di perutnya.

"Aku nggak papa, udah ya? aku mau berangkat dulu."

-----------------------------------

Siap-siap ngenggg.....

#ToBeContinued.

KIBLAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang