Kepulangan Sang Murabbi.

128K 8.1K 2.6K
                                    

Rayyan tersenyum menanggapi ucapan Ayra sebelumnya, ia mengelus puncak kepala Ayra dengan pelan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rayyan tersenyum menanggapi ucapan Ayra sebelumnya, ia mengelus puncak kepala Ayra dengan pelan.

"Ayra, Sayang," lirih Rayyan.

Entah kenapa, mata Ayra kembali memanas mendengar panggilan yang biasa ia dengar itu.
"Dalem, Mas."

"Kullu nafsin dza iqatul maut," ujar Rayyan seraya menghapus air mata Ayra yang kembali turun.
"Setiap yang berjiwa pasti akan berpulang."

Ayra menggeleng, nafasnya kembali tercekat pun dengan suaranya terdengar parau.
"Jangan bahas tentang itu, Mas. Aku nggak sanggup."

"Mas ingin melihat anak kita, Ay. Tapi, keadaan tidak memungkinkan untuk Mas dan juga Zayn bertemu."

"Kamu pasti akan melihat Zayn, Mas. Kita akan menjaganya sama-sama."

Rayyan menanggapi ucapan Ayra dengan seulas senyum.
"Sayang, jam berapa sekarang? Sepertinya, sudah masuk waktu shalat," tanya Rayyan, tatapan matanya tak pernah terlepas dari Ayra yang terus menggenggam erat tangannya.

Ayra mengangguk mengiyakan, karena sebelum ia masuk ke dalam ruangan waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Itu artinya, saat ini adzan telah berkumandang tanda waktu sholat akan segera dimulai.

"Sudah adzan, Mas. Mau wudhu? Biar aku bantu kamu," balas Ayra, ia mengerti kondisi Rayyan yang tidak memungkinkan untuk bersuci menggunakan air.

"Nggak, Ay. Kepala Mas sakit, biar Mas wudhunya di sini saja."

Setelah mengatakan itu, Rayyan memulai rangkaian tayamum dengan tertib. Sebelum melakukan shalat, pintu ruangan terbuka, Kafka masuk dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan.

"Mas?" Kafka langsung menyalami Rayyan dengan takzim, setelahnya mencium kening Rayyan dengan pelan, menyalurkan kekuatan yang ia punya untuk kakaknya itu.

"Mas baik-baik aja, kan? Mana yang sakit? Ngomong sama Kafka,"

Rayyan tersenyum melihat adiknya yang seperti ia lihat saat kecil, Kafka akan selalu menciumnya ketika berbuat salah sebagai ucapan permintaan maaf.

Hati Ayra terasa sesak, entah ini sebuah firasat atau apa, air matanya tidak bisa lagi ia bendung. Beruntung, Rayyan tidak melihatnya karena dengan cepat ia menghapus air matanya kembali.

"Ka," lirih Rayyan.
"Dalem, Mas."
"Kamu dari mana? Sudah shalat?" tanya Rayyan.

Kafka menggeleng.
"Kafka dari belakang dan tadi langsung masuk ke sini."
"Kamu nggak ketemu sama Umma? Umma tadi nyariin kamu."
"Enggak, Mas. Ada apa? Mau dipanggilkan Umma?" tanya Kafka.

Rayyan menggelengkan kepala.
"Jadilah imam shalat untuk Mas."

Deg!

Hati Kafka dan juga Ayra mencelos mendengar permintaan Rayyan, Kafka mengalihkan tatapannya pada Ayra yang tengah menundukkan kepalanya, bisa dipastikan kakak iparnya itu sedang menangis dalam diam. Dengan hati yang bergemuruh hebat, Kafka mencoba untuk berpikir positif, ia pun mengangguk mengiyakan permintaan Rayyan.

KIBLAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang