Laksana Mutiara.

172K 10.1K 932
                                    

Glek!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Glek!

Adel terperangah mendengar jawaban Kafka, ia merasa berada di situasi yang sangat awkward sekarang.

"Kenapa jadi bahas anak?" batin Adel.

"Kenapa antum bahas kitab gituan sama saya?" tanya Adel, terjebak dalam pertanyaannya sendiri.

Kafka menghela nafas menghadapi sikap teman kakak iparnya yang labil itu, padahal dia sendiri yang nanya tapi dia juga yang memprotes.

"Ya sudah gini, Mbak maunya saya tunjukkan kitab apa? InsyaAllah saya udah paham semua dari apa yang Mbak belum paham."

Adel menatap Kafka dengan tatapan yang sangat rumit diartikan.

"Percaya kok, Gus. Walaupun kita selisih umur tapi saya akui ilmu yang antum miliki udah pasti di atas saya. Tapi kenapa sikap antum tinggi sekali? lebih baik menanamkan ilmu padi, daripada harus melambung tinggi."

Kafka berdecak kesal, ia serba salah sekarang.

"Ilmu padi yang menurut mbak seperti apa?"

"Itu loh, Gus. Ilmu yang kalau semakin berisi semakin menunduk. Tapi yang saya lihat antum ini justru kebalikannya."

"Jadi, maksud mbak itu saya sombong karena udah membandingkan diri saya dengan Mbak, begitu? Mbak ini aneh, Mbak yang nanya tapi Mbak sendiri yang terus ngatain saya." Kafka mendengus kesal, selalu saja berdebat hal yang tidak penting dengan teman kakak ipar yang satu ini.

"Lagian nih ya, Mbak. Ilmu padi yang saya terapkan sama ilmu padi yang Mbak Dedel terapkan itu jauh berbeda." lanjut Kafka.

Adel mengernyitkan dahinya, bingung.

"Beda? dimana letak perbedaannya? Padi ya sama-sama menunduk, Gus."

"Itu padi, kalau Mbak itu semakin menunduk semakin mengantuk. Mbak gitu kan kalau ngaji?"

Adel menatap Kafka kesal.

"Itu sih bukan cuma saya, semua santri juga gitu. Antum juga gitu pasti kan?"

"Kata siapa? buktinya semua kitab yang belum Mbak pelajari saya udah khatam. Gini ya, Mbak, ini bukan perkara sombong atau gimana, saya berkata seperti itu karena saya selalu berinisiatif untuk mempelajari lebih dulu dengan bertanya langsung ke kakak saya. Mbak tahu sendiri gimana kakak saya kalau ngajar, beliau itu keras tapi tegas, ya kali saya mau tiduran, yang ada saya langsung di tendang keluar."

Mendengar kata 'kakak' disebutkan, seketika Adel terdiam, ia merindukan Ayra dan juga Rayyan.

"Udah mbak debatnya? kok diem?" tanya Kafka, membuat Adel tersadar dari lamunannya.

"Gus, antum gak kangen sama kakak-kakak antum? saya aja kangen sama mereka." ujar Adel, mengalihkan pembicaraan.

"Kalau itu jangan di tanya lagi, bahkan saya belum pernah lihat kakak saya lagi setelah hari itu."

KIBLAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang