15. Picture

4.2K 531 44
                                    

Taeyong's Pov

Setiap anak menampilkan senyum paling cerahnya di sana.

Selesai mengobrak-abrik seluruh kotak-kotak berisi barang-barang yang sudah lama di gudang, aku mendapatkan beberapa lembaran foto ini.

Foto yang kira-kira sudah berumur 14 tahun lamanya. Tidak heran jika foto ini sudah mulai menguning akibat termakan waktu.

Barisan anak-anak yang berumur sekitar 4 sampai 7 tahun, senyum cerah yang ditampilkan, serta wajah yang masih terlihat sangat polos bak tak memiliki dosa. Semuanya ada di dalam foto tersebut.

Sambil memperhatikan, aku menarik kedua sudut bibirku ke atas karena mengingat gaduhnya saat masih berada di masa Taman Kanak-kanak. Bagiku, masa itulah yang paling terindah dalam hidup.

Dimana kita tidak memiliki beban pikiran dan selalu positif dalam hal yang dilakukan. Tidak mengenal masalah kehidupan dewasa seperti sekarang.

Lalu aku disadarkan dengan suara ibu yang baru saja pulang.

Aku menoleh ke arah pintu lalu berdiri. Kuselipkan foto di tanganku ke dalam sebuah majalah yang secara asal kuambil di atas meja. Lalu, aku keluar dari gudang dan melihat ibu sedang meletakkan sebuah kantung berwarna coklat ke atas meja ruang tengah.

"Apa itu?" Tanyaku begitu sampai di dekatnya. Kulempar majalah di tanganku ke arah sofa.

Ibu menoleh dan tersenyum, "roti kesukaanmu. Saat di perjalanan pulang, ibu tidak sengaja melihat kedai roti yang menjualnya. Karena mengingatmu, ibu langsung membelinya," paparnya.

Kutatap pembungkus itu. Padahal kondisi ekonomi kami sedang tidak normal, tetapi dia tetap membeli makanan itu.

"Lain kali jangan beli makanan yang tidak terlalu penting," ucapku kembali menatap ibu. "Ibu tahu kan kondisi ekonomi keluarga kita sedang tidak baik, jadi ibu harus sedikit menghemat."

Pandangan ibu seketika meredup. Walaupun begitu, ia tetap mempertahankan senyumnya.

Lalu, ia mengangguk tipis, "ne, ibu akan lebih hemat mulai sekarang."

Dadaku terasa berdenyut melihatnya begini. Aku menarik napas pendek dan menghembuskannya.

"Mianhae, eomma. Aku janji hanya untuk sekarang kita berhemat. Saat pekerjaanku kembali membaik, akan kubiarkan ibu membeli semua yang ibu mau. Aku janji," ucapku meyakinkannya dan mencoba untuk tersenyum. (Maafkan aku, ibu.)

"Aniya, Taeyong-ah. Kau tidak perlu minta maaf, ibu baik-baik saja," ungkapnya berusaha kuat meskipun aku tahu dia tidak baik-baik saja.

Sesaat terjadi jeda diantara kami.

Lalu aku mencoba buka suara, "Eomma," panggilku tertahan karena melihat tubuh ibu yang terlihat gemetar.

Buru-buru aku menangkapnya sebelum dia terjatuh ke lantai "Eomma, wae irae?" tanyaku khawatir seraya menelisik wajahnya yang mulai pucat. (Ada apa?)

Ibu masih tetap tersenyum. "Gwaenchana, ibu hanya kelelahan," jawabnya dengan suara yang parau. (Tidak apa-apa.)

"Tidak apa-apa, apanya?" Kulingkarkan sebelah tangan ibu ke leherku sebelum membimbingnya ke arah sofa dan mendudukkannya. "Tunggu di sini. Akan kuambilkan obatnya," perintahku lalu berlari ke arah dapur.

Aku mengambil obat penahan rasa sakit miliknya dan segelas air.

Selalu saja begini. Ibu pasti akan merasa tertekan saat membahas tentang keluarga. Oke, untuk kali ini aku memang salah karena sudah memulai pembicaraan yang salah. Akan kuusahakan untuk tidak mengulangnya lagi.

Photograph.Where stories live. Discover now