Chapter 55

31.6K 3.1K 24
                                    

[Raya pov]

Arsyaf perlahan memegang pipi Bianca dengan lembut. Tubuhnya kemudian menunduk. Bianca sudah bersiap. Ia memejamkan mata lentiknya. Arsyaf pun demikian. Ia juga memejamkan matanya. Dia juga bersiap menuruti keinginan Bianca.

Hati gue terasa sakit banget. Tangan gue mengepal seolah ingin menghentikan semua itu. Tapi..... sebelum bibir mereka benar-benar bersentuhan, Arsyaf terhenti lalu menjauh dari Bianca.

"Maaf. Kali ini gue nggak bisa menuruti permainan lo, Bi!" Arsyaf menggelengkan kepala.

Bianca membuka matanya. "Sekali saja, Syaf! Sebelum gue meninggal!" Pintanya sambil menangis.

"Cari saja orang lain untuk mengikuti permainan lo!" Arsyaf berjalan cepat keluar pintu meninggalkan Bianca yang tengah bersedih.

Gue langsung mengejar Arsyaf lalu memegang pergelangan tangannya mencoba menghentikannya.

"Lepasin!" Bentak Arsyaf.

"Lo tega, Syaf!" Bentak gue balik. "Sebentar lagi Bianca meninggal, dan lo nggak mau memenuhi permintaan terakhirnya?"

"ENGGAK!"

"Gue mohon, Syaf! Tolong penuhi permintaan Bianca sekali ini saja! Tolong!"

"Lo gila! Lo nyuruh gue nyium cewek yang nggak gue sukai?"

"Terus, lo mau membiarkan begitu saja?"

"Gue nggak peduli!! Gue nggak mau nyium dia! Titik!!" Arsyaf pun berlalu pergi entah kemana.

Gue mematung, terdiam dan tak bisa menghentikannya pergi. Setelah itu, gue kembali ke kamar Bianca. Dia masih menangis dan tiba-tiba dengusan napasnya terdengar semakin sesak. Ia pun memukul-mukul dadanya sendiri. Mata gue mendelik kaget.

"Bi, lo kenapa?" Tanya gue cemas.

Bianca tak menjawab apa-apa. Tiba-tiba hidungnya mengeluarkan darah lalu ia mengerang kesakitan. Tanpa berpikir panjang, gue langsung berlari mencari dokter.

***

Di kursi koridor, mama papa Bianca, gue dan Arsyaf masih menunggu kabar dari dokter. Setelah sekitar setengah jam menunggu, akhirnya dokter keluar juga. Dia keluar dengan tampang murung.

"Bagaimana keadaan anak saya, dok?" Tanya papa Bianca tampak sangat cemas.

Pak dokter menggeleng lesu dengan menunduk. Lalu mama Bianca tiba-tiba menangis histeris setelah menafsirkan ekspresi pak dokter.

"Maaf, pak. Kami sudah berusaha semampu kami. Tapi Tuhan berkehendak lain," papar dokter itu.

Suasana rumah sakit terasa begitu haru. Gue pun menitikkan air mata. Kasian sekali, Bianca! Kenapa dia pergi begitu cepat?

***

"Sudahlah, Ray! Lo jangan nangis lagi!" Ucap Arsyaf sambil memegang pundak gue dari samping.

"Lo jahat, Syaf! Lo jahat!" Bentak gue sambil memukul-mukul dada Arsyaf.

Arsyaf menerima pukulan-pukulan gue. Lalu dia memeluk gue erat. Gue pun langsung mendorongnya lalu berdiri untuk menghindar. Tapi tangan Arsyaf dengan sigap menarik tangan gue hingga gue terduduk kembali di sampingnya. Kemudian dia memeluk erat gue lagi. Gue memberontak, mencoba melepaskan pelukannya. Tapi kali ini tak bisa. Dan pada akhirnya gue hanya bisa menangis dalam pelukannya.

"Gue sudah pernah bilang sama lo kalau lo itu cewek! Kalau pengen menangis ya menangis saja! Jangan sok kuat!" Gumamnya.

"Lepasin, Syaf!" Gue masih berusaha mendorongnya.

"Apa lo tau kenapa gue nggak bisa nyium Bianca?"

Gue terdiam tapi masih sesenggukan sehabis menangis. Saat itu gue hanya bisa menyimak apa yang dia katakan.

"Karena hanya lo yang ingin gue cium, Ray!" Lanjut Arsyaf.

Mata gue terbelalak lebar mendengar pengakuan Arsyaf barusan. Gue masih terdiam membisu seperti patung dan belum menjawabnya.

"Lo mau 'kan jadi pacar gue?" Arsyaf melepaskan pelukannya sembari menatap gue hangat.

Gue memanglingkan muka, berpikir bingung. Bagaimana bisa mantan musuh gue lalu berubah menjadi best friend gue, kemudian sekarang dia ingin menjadi pacar gue?

Note    : kayaknya hampir rampung deh nih novel. Bintang dan komen yak! 😄

FEMME FATALE / CEWEK CETARWhere stories live. Discover now