AKU 30

37.6K 2.7K 10
                                    


Vidia baru saja tiba di rumah ketika senja telah menyapa. Tadi gadis itu kembali harus naik angkutan umum karena Aro tidak muncul untuk menagih semangkuk ramennya. Entah kemana perginya malaikat maut itu, padahal dia sendiri yang meminta ditraktir dan dia sendiri yang tidak datang untung mengambilnya. Awas saja nanti jika susah lewat seminggu Aro tetap menagih ramen, Vidia tidak akan sudi memberi traktiran untuknya walau diancam sekalipun.

Saat taxi yang Vidia tumpangi sudah sampai di depan rumahnya, dia dengan segera menyerahkan beberapa lembar uang dan keluar dari mobil berwarna biru itu.

Vidia mengernyit heran melihat pemandangan di depan rumah. Bukan karena dia salah rumah atau bahkan diturunkan di depan kuburannya, yang membuatnya heran adalah keberadaan Adit dan juga Shawn yang berdiri sejajar layaknya peserta paskibra di waktu perayaan kemerdekaan Indonesia. Oke, itu memang berlebihan.

"Kalian kok ada di sini?" tanya Vidia setelah jarak mereka sudah cukup dekat untuk berbicara.

Shawn melayang cepat ke arahnya dengan wajah yang sedih. "Vid, gue minta tolong jagain adik gue. Bilang ke dia kalo gue sayang banget sama dia. Suruh dia mikir lagi buat mengorbankan nyawanya buat si vampir."

"Eh—pelan pelan kalau ngomong."

"Gue mi—"

Belum sempat Adit bicara tiba-tiba seekor burung hantu putih keluar dari kamar Vidia dan bertengger di bahunya. Gadis itu sendiri dibuat mendengus ketika burung itu sudah sampai di bahunya. Kalau begini Vidia merasa tidak jauh beda dengan pesulap yang jarang bicara yang memiliki peliharaan burung hantu.

"Burung hantu?"

Adit mendekat ke arah bahu Vidia  dan memandang burung hantu itu lebih dekat. Laki-laki berkacamata itu juga mencoba menyentuh burung hantu itu. Namun, belum sempat Adit menyentuhnya burung hantu itu melayangkan tatapan mematikan padanya membuat pada akhirnya mengurungkan niatnya.

"Kenapa?" Vidi bertanya ketika melihat ada yang ganjil dengan ekspresi Adit.

"Lo selama ini melihara burung hantu?"

Vidia menggeleng cepat, membuat baik Adit maupun Shawn diliputi rasa bingung. Kalau bukan peliharaan lantas alasan apa yang membuat burung itu dengan santainya bertengger di bahunya? Tidak mungkin bukan kalau hantu itu berasal dari dunia yang sama dengan Harry Potter dan datang ke mari untuk mengantar sebuah surat?

"Burung hantunya dateng sendiri ke gue," jelas Vidia yang direspon dua laki-laki beda alam di depannya dengan sebuah anggukan walau dari wajahnya jelas mereka tidak percaya.

"Tolong jagain Edward, kalau bisa tolong ubah pikiran Edward. Lo adalah harapan terakhir gue." Adit memandang Vidia dengan tatapan meminta, dia bahkan tanpa sadar menggenggam erat tangan Vidia.

Vidia tidak langsung menjawab, ia menatap Adit dan Shawn bergantian. Mata kedua laki-laki di depannya terlihat berkaca-kaca, sebenarnya dia juga merasakan kesedihan yang sama, tapi apa yang harus dia lakukan untuk menghalangi itu semua.

"Gue udah coba, tapi dia bilang gue nggak akan bisa mengubah pemikiran dia ...." Vidia tertunduk, "apapun yang gue lakuin nggak akan mengubah pendirian bodohnya itu."

"Vid!" Seseorang dari arah rumah memanggilnya.

"Kak Dhirga." Dilihatnya Kakaknya sedang berjalan mendekat ke arahnya.

Dhirga berhenti tepat di samping Vidia. Sejenak matanya memandang dengan lekat seorang anak laki-laki berkacamata yang memakai seragam yang sama dengan adiknya dan hantu laki-laki berwajah lumayan yang juga memakai seragam sekolah yang sama, hanya saja hantu itu memakai jaket kulit.

"Pacar lo?" Dhirga memicingkan mata curiga pada Vidia dan menunjuk Adit dengan jarinya. Dengan kompak Vidia dan Adit merespon dengan gelengan kepala.

"Bukan, Kak."

AKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang