acht

1.1K 80 18
                                    

Di bab ini akan ada cerita tentang keluarga Ethan, dari pada nanti kalian bingung bacanya, author sarankan baca dulu cerita pertamanya: Backstreet supaya tidak bingung.

* * *

KRIIING!

Kriiing!

Kriiing!

Ethan menggerutu kesal. Siapa orang waras yang akan menelponnya sepagi ini—jam dua pagi—waktu kota Munich?

Ia meraih ponselnya, menatap layar ponselnya yang menyilaukan mata. Matanya tak dapat melihat jelas layar telepon, sehingga ia memutuskan untuk langsung mengangkat telepon itu.

"Wer ist da?"

[Siapa?]

"Ethan, penting!"

Jantung Ethan serasa berhenti berdetak mendengar suara bergetar dari negeri di ujung sana. Ini adalah panggilan luar negeri—dan suara yang ia dengar dari ujung sana adalah suara isak tangis sesengukan.

Ia kenal betul suara adiknya, suara Ferdinand. Keluarganya tak pernah menelpon sepagi ini, karena mereka memahami perbedaan waktu diantara mereka.

Namun, menelpon tiba-tiba tanpa memikirkan perbedaan waktu? Itu mengagetkan.

"Ke... kenapa?" tanya Ethan terbata.

"Papa...,"

"Papa kenapa?!"

"Papa kena serangan jantung," isak Ferdinand di seberang sana.

"Beneran?"

"Sejak sebulan lalu...,"

"Kenapa lo ga cerita dari dulu?"

"Kak, gue mohon. Lo satu-satunya harapan di keluarga ini—" terdengar tangis Ferdinand pecah.

"M... maksud lo?" ucap Ethan tak mengerti.

"Setelah lo pergi dari Indonesia, ayah Ellen bener-bener nyita semua harta benda kita. Kita bertahan waktu itu, dengan cara mama dan papa banting tulang kerja pagi malem non-stop, tapi, papa sakit, dan uang kita habis buat nyelamatin papa,

"Sekarang kondisi papa makin parah, dan kita di sini bener-bener udah ga punya uang lagi buat ngeobatin papa,"

"Dan maksud lo cuma gue satu-satunya harapan...?"

"Kak, kita semua butuh lo balik ke Indonesia, buat menikah sama Ellen. Perjanjian itu emang udah batal, tapi om Reza bakal ngasih lo kesempatan sekali lagi, dia bakal biayain pengobatan papa dan ngebalikin harta kita—termasuk pendidikan lo di sana,"

Jantung Ethan kini benar-benar terasa seperti berhenti berdetak mendengar perkataan Ferdinand.

"Kak, gue tau ini berat buat lo, tapi gue mohon kak, ini demi papa, dan keluarga kita. Lo satu-satunya harapan," ucap Ferdinand berusaha untuk tegar.

Air mata Ethan menetes. "Oke, gue bakal segera balik ke Indo."

* * *

ISAK tangis memenuhi dorm kamar lelaki yang bernomor 305 di depan pintunya.

Isak tangis ini sudah terdengar pukul dua malam—dan tak kunjung berhenti sampai sekarang—pukul tujuh pagi.

Nach Sieben JahrenWhere stories live. Discover now