vierundwanzig

124 15 2
                                    

"SUDAH gue bilang, kan, berhenti menangis. Kenapa tangisan lo semakin kencang?"

"Itu karena lo bukan Ethan," tangis Angela, "Gue terlambat. Gue mencintai Ethan."

Angela merasa semakin hangat ketika lelaki di sebelahnya melepaskan jaket dan menyelimutkannya kepada Angela.

"Gue terlambat. Ethan udah kembali ke Indonesia. Dan lo, lo cuma halusinasi gue," ucap Angela sedih. Ia berusaha mengusap air matanya, namun air matanya semakin basah. Terjadi keheningan sesaat, dan Angela pun lanjut menangis.

"Gue ga bisa meninggalkan lo sendiri di sini, meski pun gue udah berniat buat gak ngasih tau kalo gue akan balik ke Indonesia," ucap suara itu, "Tapi, hati gue gak rela melihat gadis yang gue cintai menangis di balkon, kedinginan dan juga terkena salju."

"Gue emang gak bisa mematahkan hati lo begitu aja. Hati gue sendiri pun sakit. Itu kenapa gue balik lagi buat nemenin lo. Jadi, berhenti menangis ya?" ucapnya lagi, "Gue kira meninggalkan lo sendiri di Munich itu pilihan terbaik. Lo punya kampus baru, teman-teman baru, tempat tinggal baru, lingkungan baru, dan semuanya baru. Bahkan cinta baru—"

"Tapi gue salah. Meninggalkan lo di sini itu salah. Gue bertemu lagi, dan ini artinya kesempatan biar kita bisa bersama lagi."

"Ini bukan pertama kalinya gue ngelihat lo nangis di sini, tau gak sih? Selama gue ada di kafe croissant ini, gue selalu melihat lo menangis di sini, Angela," Terjadi keheningan sesaat, "Karena itu, gue gak mau membuat lo menangis lagi. Lo tenang aja, gue sayang sama lo. Lo enggak terlambat. Buktinya, gue masih ada di sini, kan?"

Angela menggeleng pelan, ia menatap lelaki di depannya lurus, "Ethan," panggilnya ragu. Lalu ia mengulurkan tangannya dan membelai pipi lelaki di hadapannya itu.

Rasanya nyata.

Ethan tersenyum lembut dan memegang tangan Angela erat-erat, "Iya, ini Ethan."

"Ini, beneran Ethan?" tanya Angela sambil meraba-raba wajah Ethan.

"Iya, ini Ethan. Gantengnya masih sama," senyum Ethan tipis. Ia membalas pelukan Angela erat, agar gadis itu mampu merasakan kehangatan di tengah derasnya hujan salju.

Tanpa kata-kata lagi, gadis itu langsung memeluk erat Ethan dan menangis bahagia. Ia memeluk Ethan seerat yang ia bisa, berharap lelaki ini tidak akan pernah pergi darinya.

Kesempatan baru telah menghampiri.

"Ke-kenapa lo bisa ada di sini? Bukannya lo udah kembali ke Indonesia?" tanya Angela setelah tangisnya mereda.

"Selama langkah gue keluar dari lobby apartemen ini, hati gue terasa sesak, berat, dan juga sedih. Gue gak tega meninggalkan lo, tapi gue berusaha merelakan lo," senyum Ethan tipis, "Ketika gue memasukkan koper gue ke dalam bagasi taksi, telepon gue berbunyi. Katanya, penerbangan diundur sampai lusa, karena adanya badai salju hari ini hingga besok. Di saat ini, gue mengerti kalo ini adalah tanda bahwa gue gak ditakdirkan untuk meninggalkan lo sendiri di sini."

Angela berusaha tersenyum tipis, "Gue gak sendiri, gue punya Hubert di sini," ucapnya tegar.

Ethan memutar bola matanya malas, kemudian kembali tersenyum ketika melihat Angela, "Hubert lagi, Hubert lagi. Sejak dulu gue udah tau ada yang aneh di antara lo berdua. Karena gue kenal siapa Angela gue. Akhirnya, dia marah sama lo dan mencabut beasiswa lo, kan?" tanya Ethan.

Angela mengganguk pelan, "Iya, tapi gapapa. Gue tetap bisa mencari kerja, karena gue udah S1," senyumnya tegar.

"Lo udah jauh lebih dewasa, Angela," senyum Ethan, dan meletakkan kepala Angela di atas bahunya. Ia merangkul gadisnya pelan, memberinya kehangatan. Keduanya terdiam menatap turunnya butiran salju.

Biarlah mereka terdiam, berbagi kehangatan di antara derasnya salju.

* * *

"BASAH kuyup lo, habis ngapain?"

Ethan hanya menyengir kuda ketika Louis melemparkan pertanyaan dan menatapnya penuh selidik.

"Loh-loh, tunggu! Lo ngapain di sini?! Bukannya lo seharusnya kembali ke Indonesia?" tanya Louis kaget.

Ethan kembali menyengir kuda lalu berbaring di kasurnya sambil tersenyum sendiri.

"Eh, badan lo basah, jangan tiduran di kasur! Mandi dulu sana, dingin loh, untung penghangatnya udah dibenerin!" suruh Louis.

Ethan berdiri tegak, dan tersenyum menatap Louis.

"Lo-lo bukan Ethan ya? Lo psikopat ya? Lo hantu yang ngerasukin Ethan?" tanya Louis gagap, mulai ketakutan.

"Gue mandi dulu, habis itu gue cerita sama lo." ucap Ethan membuat hati Louis lega.

Lima belas menit kemudian, akhirnya Ethan selesai mandi dan terduduk di meja belajarnya.

"Jelasin, kenapa lo masih ada di sini?" tanya Louis curiga.

"Pesawat gue delay, lusa baru berangkat. Jadi gue tinggal di sini lagi," senyum Ethan, "Dan tebak tadi gue ngapain?"

"Lo ngapain sampe basah-basahan?"

"Yang setelah lo telpon gue, seharusnya gue udah berangkat ke bandara. Tapi gue ditelpon kalo pesawat gue delay, jadi gue kembali lagi untuk menemui Angela dan memperjelas semuanya. Gue hujan-hujanan di balkon dia," jelas Ethan, "Ternyata gue benar tentang apa yang terjadi sama Angela dan Hubert. Dan juga, ternyata gadis yang gue lihat menangis di balkon dari kafe croissant, itu benar Angela."

Louis tersenyum, "Emang pintar sahabat gue. Selamat, Ethan," puji Louis.

"Ya udah, kalo gitu, buatin gue spaghetti instan Munich, dong. Sebelum di Indonesia gue gak bisa makan tuh spaghetti lagi," pinta Ethan sambil berbaring di kasur.

"Ah, elo. Untung lusa lo balik ke Indonesia, kalo gak gue gak mau masakin lo spaghetti," ketus Louis sambil memasukkan spaghetti itu ke dalam microwave.

Ethan tersenyum hangat kepada Louis, "Makasih, Lu. Lo adalah sahabat terbaik gue, gue dijamin bakal rindu sama lo nanti," ucap Ethan sambil memeluk Louis erat.

"Gue juga," bisik Louis sedih, balas memeluk sahabatnya.

* * *

Hai semua!

Karena minggu kemaren author gak update (hpnya error) jadi ganti nya hari ini ya!

Tenang aja, besok bakal update lagi kok!

Sampai jumpa besok!

Share, vote, comment ya:)

Nach Sieben JahrenWhere stories live. Discover now