sechszehn

771 48 2
                                    

BRRRRR...

Andaikan hari ini kampusnya masih libur, Ethan pasti memutuskan untuk tidur di atas kasur dan meminum segelas teh panas.

Namun demi menggapai cita-cita, di sinilah Ethan berada—di kampusnya duduk di salah satu kursi ruangan menanti dosennya yang tak kunjung datang.

"Ethan!"

Panggilan namanya membuat jantung Ethan berdebar kencang entah mengapa, karena ia kenal betul siapa pemilik suara ini.

Gadis yang memanggil Ethan tadi lekas berjalan ke arahnya dan duduk di sebelah meja Ethan.

"Kenapa kau memalingkan wajahmu?" tanya gadis itu bingung.

"Ti-tidak." balas Ethan kaku, lalu menatap Felicia.

"Lalu, mengapa kau mukamu memerah? Kau baru bertemu dengan gadis yang kau sukai, ya?" tanya Felicia lebih lanjut.

Sial, ketebak, batin Ethan.

Felicia menatap sekitar, kemudian kembali berkata, "Ah, di sini kan kelas kedokteran. Tentu tidak ada Angela di sini," tawanya, "Salah perkiraan." lanjutnya.

"I—iya."

"Kenapa kau begitu gugup hari ini?" tanya Felicia bingung. "Ah, pasti lagi-lagi kau memikirkan si Angela, kan? Tak perlu khawatir, tadi kulihat ia sedang bersama Hubert tadi. Mereka begitu bahagia. Berhenti memikirannya, budak cinta. Dia bahkan terlihat tidak pernahmemikirkanmu," sindirnya.

"Hen-ti-kan." ucap Ethan—sementara wajah memerahnya berubah marah, "Jika kau bertemu dengan diriku hanya untuk mengejek Angela, sebaiknya kau pergi."

"Maaf," ucap Felicia pelan.

"Jangan ganggu aku," ucap Ethan pelan, kemudian melangkah keluar kelas dengan gusar.

* * *

VIAN terduduk lemas, menatap sekeliling lingkungan kampus yang bisa dibilang mewah, idaman, atau pun nyaman.

Dengkan tumbuhan hijau yang dirawat dan dipangkas perharian, wajah-wajah tumbuhan itu tampak begitu segar. Ditambah dengan interior maupun eksterior kampus yang terlihat modern karena selalu direnovasi perbulannya. Dan tentu saja, para mahasiswa dan para dosen yang membuat suasana di tempat itu kondusif.

Tentu saja banyak orang dari segala penjuru negara berkuliah di sini. batin Vian sambil menghela napas kecil—menyesal tidak berkuliah di sini dahulu.

Kedua tangannya menggengam erat tisu di dalam tangannya, kemudian meremas tisu-tisu tersebut dengan tangannya yang ia taruh di atas lututnya.

"Vian!" panggil seseorang menghentikan rasa khawatirnya.

Vian menoleh, menatap cowok dengan pakaian musim dingin yang keren dan menggengam sebuah buku di tangannya. Vian tertegun sebentar melihat penampilan cowok yang berjalan ke arahnya yang seperti orang Jerman asli, dan betapa beruntungnya lelaki ini karena dapat berkuliah di kampus keren ini.

"Bengong aja lo, ayo!" ajak Ethan tanpa ba-bi-bu, sambil mengayunkan tangannya memanggil Vian agar mengikuti langkahnya.

Dengan terburu, Vian segera mengejar langkah Ethan yang cepat, "Pelan-pelan, jalannya," keluhnya, "Enak ya, kuliah di sini?" tanyanya.

Ethan mengangkat bahunya, "Biasa aja sih buat gue. Tapi emang bagus sih sekolahnya. Kenapa, lo mau kuliah di sini juga?" tanya Ethan santai—membuat Vian setengah kaget karena pertanyaannya.

"E-enggak," tepis Vian, "Keren aja sekolah lo ini, kepengen gue. Tapi kan, gue juga udah kerja."

"Lo kan, anak orkay, emang dulu lo gak kuliah di luar?" tanya Ethan.

Nach Sieben JahrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang