einundzwanzig

142 15 4
                                    

"PERTAMA kali gue main salju di taman sama Galdys tadi, emang paling keren, Than!" ucap Vian dengan mata berbinarnya.

Selama dua puluh tahun masa hidupnya yang sering berpergian keluar negeri, Vian tidak pernah menyentuh salju sedikit pun. Mata berbinarnya menunjukkan jelas bahwa ia menyukai salju.

"Biasa aja, norak." balas Ethan peduli tak peduli.

"Tega banget lo, mentang-mentang udah jadi warga kota Munich," cibir Vian, "Jadi lo mau cerita apa? Udah gue bela-belain berhenti main salju terus datang ke dorm mewah lo ini buat dengerin bocah curhat."

"Kapan, lo balik ke Indonesia?" tanya Ethan santai.

Vian menghela napas berat mendengar pertanyaan Ethan, namun ia berusaha setegar mungkin tersenyum, "Kurang tau deh. Tunggu keputusan Axel dan kakak gue, tunggu apakah mereka mau balikan atau putus," ucapnya pasrah, "Lo tau sendiri kan, masalah percintaan mereka itu ribet."

Ethan mengganguk, "Besok, gue akan balik Indonesia," ucapnya dengan nada menggantung, "Gue gak tau bakal balik lagi atau enggak."

Vian menatap lawan bicaranya kaget, "Kenapa?! Lo, mau putus kuliah begitu aja?" tanyanya tak rela.

"Gue pengennya gue tetap di sini dan kuliah, tapi apa daya. Ayah gue sakit, keluarga gue jatuh bangkrut. Mau gak mau gue pasti harus balik ke Indonesia dan jadi tulang punggung keluarga," jelas Ethan sedih.

"Jadi itu sebabnya, barang-barang lo tiba-tiba menghilang dan lo jadi pendiam akhir-akhir ini?" tanya sebuah suara berat dari ambang pintu, "Gue kira lo balik ke Indonesia dua minggu lagi, Ethan?" ucap Louis tak kuasa menahan sedih.

"Iya," jawab Ethan kaku, "Om Reza udah beliin gue tiket pesawat besok. Jadi, lo bisa sepuasnya kan, tinggal di sini sendirian, tanpa diganggu gue lagi?" ucap Ethan sambil bercanda renyah.

Namun Louis hanya terdiam, dan membaca buku novelnya.

"Oke, jadi, apa yang sebenarnya mau lo omongin?" tanya Vian intens.

"Tolong, selama gue pergi nanti, jaga Angela. Atau yang penting, sampaikan salam. Dia terlalu berbahagia sama Hubert, gue udah gak berani ganggu dia lagi," ucap Ethan pasrah.

"Ethan Clayton, di mana kepercayaan diri lo yang selangit dulu?!" seru Vian percaya tidak percaya, "Angela masih sama kayak dulu, gue yakin."

"Enggak, Vi. Apa yang Felicia omongin itu ada benarnya," bantah Ethan halus.

Vian mengigit bagian dalam pipinya, ke mana Ethan yang percaya diri dulu?

"Iya deh, kalo itu mau lo," jawa Vian, "Tapi, sebenarnya gue menemukan fakta menarik di antara mereka berdua." senyum Vian cerdik.

Baik Ethan dan Vian saling bertatapan penuh arti, ditambah Louis yang langsung bangkit dari baringannya untuk mendengar apa yang Vian katakan.

dan akhirnya setelah beberapa saat, Ethan mengerti.

* * *

ETHAN duduk di kafe ternama penjual croissant terenak untuk terakhir kalinya. Dirinya menatap suasana kafe yang akan segera ia rindukan setelah kembali ke Indonesia nanti.

Bibirnya tersenyum tipis menatap gadis lugu yang tengah asyik bermain dengan laptopnya. Ia yakin seratus persen dalam hati bahwa ia akan merindukan gadis ini.

Pelan-pelan, ia menyeruput teh khas Munich sambil menatap ke luar jendela, di mana suasana di luar sudah mulai bersalju. Ia bersumpah bahwa ia akan merindukan suasana dingin dengan suhu rendah, ditambah salju yang selalj terselip di antara jaketnya.

Nach Sieben JahrenWhere stories live. Discover now