siebenundwanzig

136 14 2
                                    

"PASANG pendinginnya ke angka tiga, tolong."

Dengan patuh, supir kebangaan keluarga Permata—supir Reza segera menyetel pendingin mobil hingga ke suhu paling tinggi, yaitu di tingkatan ketiga.

"Kau ingin membunuh kita, ya? Angka tiga itu dingin!" hardik Lalisa kesal.

"Dingin? Di Munich tidak ada cuaca sepanas 'angka tiga' ini!" balas hardik Ethan, "Aku berkerigat, kota apa ini, sepanas ini!"

"Dasar warga Munich, menyebalkan!" seru Ferdinand kesal.

Ethan merengut kesal melihat ibu dan adiknya yang bersekutu melawan dirinya. Ia menatap jam, sekarang pukul satu siang.

"Sekarang pukul lima sore, berarti jam dua belas siang di kota Munich. Apakah kalian tidak akan memberiku makan, di Munich adalah waktu makan siang sekarang." pinta Ethan.

"Anak manja tidak tahu diri!" tembak Ferdinand kesal, "Tahan laparmu! Menyesuaikan lah dengan tempat di mana kau berada sekarang!"

"Aku tidak akan bersikap seperti ini jika kalian tidak memaksaku untuk menikah!"

"Hentikan!" teriak Lalisa marah, sebelum perdebatan kedua anak lelakinya semakin membuldak, "Turun! Kita telah sampai di kediaman keluarga Reza!"

Napas Ethan serasa terhenti. Ia akan segera bertemu dengan calon pengantinnya yang telah ia kenal selama bertahun-tahun, dan juga telah ia benci selama bertahun-tahun.

Mereka tidak bertemu selama enam tahun, dan jujur, itu membuat Ethan gugup. Bagaimana sikap Ellen nanti?

Ethan menghembuskan napas santai, lalu mengikuti langkah ibunya memasuki mansion mewah milik Reza. Ia berjalan perlahan dan memasuki ruang makan, di mana pembicaraan akan dilaksanakan.

"Reza, kami sampai," ucap Lalisa sembari memasuki ruang makan tersebut.

Ethan menundukkan kepalanya gugup, tidak mampu menatap suasana di depannya.

"Duduk," perintah Reza sambil menunjuk kursi di depannya.

Reza duduk di ujung meja, Lalisa berhadapan dengan Reta—istri Reza, Ethan berhadapan dengan Ellen, dan Ferdinand duduk sendiri di ujung.

"Ethan, sudah besar kau sekarang. Sudah semakin seperti orang Barat asli, dan wajahmu semakin tampan kala kau dewasa sekarang," puji Reza.

"Terima kasih," senyum Ethan membalas kontak mata Reza. Ia menatap Ellen di seberangnya. Ada yang berbeda dengannya.

Ia tampak mengenakan kemeja atau pakaian kerja yang formal, wajahnya tetap cantik, namun ia tampak dewasa sekarang dan mandiri dengan pakaian kerjanya.

Tapi lihat aja nanti sifatnya, batin Ethan dengan nada mengejek.

"Tak ingin kausapa calon suamimu, Ellen?" tanya Reza sambil menatap putrinya yang asyik dengan makanannya.

Ellen menatap ayahnya pelan, kemudian menggeleng, "Tidak, terima kasih, Pa." jawabnya sebelum melanjutkan makannya lagi.

Dia benar-benar gak natap gue, batin Ethan kaget.

"Ah, putriku menjadi pemalu sekali setelah berhadapan dengan calon suaminya," kekeh Reza, "Betul bukan, istriku?" tanyanya sambil menggengam tangan Reta.

Reta hanya tersenyum tipis tanpa memedulikan Reza lebih lanjut.

Ada yang aneh dengan keluarga ini, batin Ethan sambil menyantap makanannya.

"Jadi, di mana pernikahan akan dilaksanakan?" tanya Reza membuka pembicaraan, "Di, Bali? Atau di Maldives sekalian?"

Ethan hanya bisa terdiam mendengar ucapan Reza yang sangat mengiris hatinya.

"Putriku, bagaimana?" tanya Reza.

"Mungkin, itu akan lebih baik jika Papi yang memutuskan," senyum Ellen tipis.

"Baiklah, di kota ini akan lebih baik. Kapan kalian akan bertunangan, dan kapan kalian akan menikah?" tanya Reza lagi, "Ethan?"

"I-itu—"

"Bagaimana kalau tahun depan?" cetus Reta, "Ya, tahun depan. Supaya persiapannya semakin baik."

"Aku telah mempersiapkan semuanya, Sayang. Mereka hanya perlu menyebutkan tanggal," ucap Reza, "Bagaimana kalau, dua bulan lagi?"

Uhuk!

Ethan segera tersedak makanan yang baru saja ia telan, dan Ferdinand segera memberinya air untuk diminum.

"Apa itu tidak terlalu cepat?" tanya Ethan khawatir.

"Apa yang cepat? Kalian punya dua bulan untuk bersantai, karena segala hal sudah kuatur!"

Ethan terdiam, merasa kalah perdebatan dengan Reza. Ia hanya bisa mengganguk patuh, dan mengisi perut laparnya.

* * *

"KARENA kalian akan menikah beberapa bulan lagi dan kalian baru bertemu, pasti rasanya sangat canggung. Bagaimana kalian pergi jalan-jalan sebentar sebelum malam tiba?"

Ethan menghembuskan napas mendengar ucapan Reta yang membuat dirinya semakin lelah. Pertama, ia tidak diberi waktu untuk istirahat untuk menyembuhkan jet lag, dan sekarang, ia harus pergi berjalan-jalan dengan Ellen?

Namun tidak ada gunanya membantah kedua orang tua ini. Mereka hanya akan memaksa, dan Ethan hanya bisa pasrah mengikuti keadaan.

Demi ayahnya.

"Mobil ada di garasi, kau boleh pilih sendiri yang kau sukai. Semua kuncinya memakai sidik jari anakku," ucap Reta sambil mengantar kedua orang itu menuju garasi.

"Terima kasih, Tante." senyum Ethan tipis.

"Ah, jangan panggil Tante lagi, panggil Mama udah boleh, kok," senyum Reta, "Ya kan, Ellen?" tanyanya sambil melirik putrinya.

"Hmm," Ellen hanya menggumam kecil karena matanya terus-menerus menatap layar ponselnya.

Akhirnya, Ethan memutuskan untuk menaiki mobil sport berwarna hitam milik Reza, dan ia mencoba menduduki joknya yang terasa empuk. Ia mengganguk puas, kemudian menyalakan mesin mobil itu.

Ellen tidak ikut duduk di sebelahnya, tapi gadis itu terus memainkan ponselnya di ujung garasi.

Ethan tersenyum puas melihat gadis itu, kemudian dengan remote otomatis menbuka gerbang garasi. Dengan kencang, ia mengeluarkan mobil itu dari kediaman mewah Reza.

Sesampainya di jalan raya, ia segera mengebutkan mobil itu sekencang mungkin. Peluapan emosinya. Ia meninggalkan calon pengantinnya—Ellen sendirian di garasi.

Ia tidak peduli, toh, ia tidak sedang ingin berbaik hati sekarang.

Dirinya marah atas segala paksaan yang diberikan ibunya padanya. Emosi membuat dirinya tidak stabil.

"Kangen," gumam Ethan pelan.

Ia mengendarai mobil mewah itu dengan cepat, hingga sampai di pusat kota yang ramai pada pukul tujuh malam ini.

Mobil mewah itu ia hentikan di parkir bawah tanah sebuah apartemen mewah, dan tanpa ragu lagi ia segera memasuki apartemen itu.

Ethan memencet tombol lima belas pada layar lift, kemudian dengan sabar berdiri. Hingga lift sampai di lantai lima belas, ia keluar dari lift dan berjalan di lorong dengan santai.

Ia berdiri di depan pintu bernomor 1505, kemudian tersenyum lebar. Ia mengetuk pintu itu—cara lama. Tak lama, seorang pria sebaya dengannya membukakan pintu. Mata Ethan berlinang air mata, ia segera memeluk lelaki itu.

Setidaknya untuk malam ini, Ethan punya tempat tinggal.

* * *

Terima kasih sudah membaca:)

Part mana nih yang paling greget?

Vote, share dan comment!

Jangan lupa baca cerita pertama ya:
'Backstreet'!

See you in the next episode

Nach Sieben JahrenWhere stories live. Discover now