achtzehn

212 18 0
                                    

"DUA minggu dari sekarang?! Lo gila ya Than?!"

Sang surya baru saja muncul dari belahan bumi yang lain, namun teriakan seorang lelaki dari dorm laki-laki kampus sudah membuat kebisingan di pagi hari.

"Itu kelamaan, Ethan! Gimana kalo kondisi ayah lo gak baik?!" lanjutnya kesal.

Orang yang diteriaki hanya duduk dengan santai di atas kasurnya, membaca buku tebal tentang obat-obatan.

"Ethan! Jangan beraninya lo kacangin gue!" serunya kesal.

Ethan segera menaruh buku di sampingnya, kemudian menatap Louis sambil tersenyum, "Itu tiket termurah yang bisa gue dapat, Lu." ucapnya, kemudian lanjut membaca bukunya.

Louis ikut naik ke atas kasur Ethan, kemudian menepuk paha temannya pelan, "Than, dia keluarga lo. Masa lo lebih pentingin uang—harga tiket termurah dari pada kecepatan lo sampe ke Indo?" tegurnya.

"Lo kan udah tau, keluarga gue jatuh miskin. Gue gak bisa pesan tiket yang mahal," balas Ethan sengit.

"Lo kira gue gak tau kalo tiket itu dibiayain sama pihak beasiswa sekolah kita?!"

Ethan terduduk lemas setelah kalah beradu mulut dengan Louis, "Oke, deh. Gue kalah dari lo," ucapnya lemas, "Lo tau kan, satu-satunya cara yang bisa gue lakukan setelah gue balik ke Indo apa?"

"Iya, gue tau. Dan lo gak boleh jadiin itu sebuah alasan."

"Gue akan menikah dengan seseorang, Louis! Masa depan gue akan berubah dari apa yang gue inginkan! Kehidupan gue akan segera berubah setelah gue kembali ke Indonesia!" seru Ethan kesal, "Gue butuh waktu untuk mensyukuri kehidupan gue sekarang. Gue mau nikmatin waktu baik-baik, sebelum hal-hal manis di sini berubah!"

Omongan Louis terhenti, lidahnya terasa kelu seketika tanpa mampu membalas omongan Ethan.

* * *

SEGELAS teh hangat diletakkan begitu saja di atas meja yang terletak di sebelah kasur.

Galdys menoleh kepada adiknya yang baru saja meletakkan gelas dengan kencang kepadanya. Di matanya, adiknya tampak sedang kesal dan berusaha menonton televisi yang tak ia mengerti bahasanya.

"Kenapa?" tanyanya polos.

"Minum." balas Vian ketus.

Galdys tidak pernah mengerti mengapa di pagi hari yang dingin ini adiknya sudah marah-marah dan bersikap ketus padanya.

Namun, lebih baik hal itu tidak ia tanyakan kepada adiknya yang sedang gusar itu.

"Tadi gue sempat ambil roti dari bawah, lo mau?" tanya Galdys sambil membuka sebuah bungkusan di sampingnya.

"Gak, makasih." balas Vian ketus, sambil terus menatap televisi.

"Aduh, adikku sayang," ujar Galdys sambil duduk di sebelah Vian, "Lo kenapa sih? Ngambek sama kakak tercinta lo ini?" tanyanya sambil mencubit pipi adiknya.

"Apa deh." ucap Vian tipis sambil menepis tangan kakaknya, "Gue gapapa. Lo mau jalan ke mana hari ini?"

"Hmm." gumam Galdys, "Gimana kalo kita—"

"Gue tau kok. Lo masih pengen ke rumah Axel, kan?" tanya Vian membuat Galdys terdiam membatu, "Kenapa sih lo bisa sayang dan setia sama orang kayak gitu yang sama sekali gak ngerhagain lo?! Lo gak lihat sikap dia kemaren, dia ketus begitu sama lo! Buat apa lo baik-baikin dia lagi?!" omelnya.

Nach Sieben JahrenOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz