neun

1.1K 80 18
                                    

SEMINGGU telah berlalu sejak kejadian itu, dan Ethan kembali masuk ke kampus seperti biasa—namun ia belum tahu apakah ia akan kembali ke Indonesia.

Ia merasa malu dan juga bimbang atas kembalinya ke Indonesia, karena saat ia kembali ke Indonesia, ia akan segera menikah dengan Ellen—dan hal itu menyangkut kehidupan masa depannya karena Ellen mungkin akan menjadi pasangan hidupnya.

Ia butuh waktu untuk berpikir, sehingga ia juga melarang teman-temannya untuk membicarakan keluarganya.

Ethan juga bersyukur di waktu susahnya ini, Angela rela menghabiskan beberapa waktunya untuk menemani Ethan.

"Angela, gue ga mau kehilangan lo lagi," ucap Ethan sambil menggengam tangan Angela erat.

Angela menghela napas, lalu mengunyah habis Dijon-Dill Chicken and Noodles—makanan khas Jerman favoritnya sebelum berkata, "Ethan, ini masalah kesehatan keluarga lo. Seharusnya lo balik dulu ke Indonesia. Masalah lo nikah atau enggak sama Ellen, itu masalah lain. Yang penting, lo jenguk Om Aditya lo dulu," ucapnya tegas.

"Gue gak tau, La. Gue malu."

"Ethan," ucap Angela lembut sambil menggengam tangan Ethan. "Mereka keluarga lo. Do your best for them,"

Ethan menatap Angela bingung, ia benar-benar bimbang. "Tapi, kehidupan gue seterusnya gak akan bahagia!" tolaknya.

"Tapi ini demi keluarga lo, Ethan!"

"Apa lo sengaja ngusir gue dari sini, supaya lo bisa asyik-asyikan berdua sama Hubert?"

"Ini ga ada hubungannya sama Hubert, Ethan! Ini masalah keluarga lo, lo harus nyelamatin mereka!" tekan Angela kesal, sebelum meninggalkan meja kafetaria itu.

* * *

"AYAH, Bu, Vi. Aku mau pergi ke Jerman," tutur seorang wanita berusia dua puluh lima tahun—membuka rapat keluarganya di ruang keluarga.

Otomatis, ayah, ibu, dan adik kecilnya menatapnya dengan mata melotot. Jarang sekali putri sulung keluarga ini meminta sesuatu kepada kedua orang tuanya.

"Ada yang perlu Galdys lakuin Ayah, disana."

Sang ayah—Chandra menatap anak gadisnya penuh selidik.

"Galdys harus ketemu seseorang di sana, Ayah."

"Siapa?" tanya Rina—sang ibu.

"Seseorang, Bu."

"Siapa yang bakal ngebiayain lo ke sana? Siapa yang bakal nemenin lo pergi? Lo sebenernya mau ketemu siapa?" tanya Vian cepat.

Galdys mendesah pelan, ia merasa tidak percaya diri untuk menjawab pertanyaan dari adiknya itu.

Memang, tiba-tiba mengajukan diri untuk pergi ke Jerman tanpa alasan yang jelas pasti aneh.

Ditambah, waktu berpergian yang tidak jelas, visa yang belum dapat, kota yang dituju, kepastian ia bertemu dengan orang yang ia inginkan, semuanya yang tidak jelas dan tidak pasti.

Ia mengerti betul jika orang tuanya tidak akan mengijinkannya pergi. Tapi jika ia mengatakan yang sebenarnya, orang tuanya juga tidak akan mengijinkannya pergi. Mereka akan berkata, 'Masalah cinta doang. Banyak ikan di laut'.

"Galdys, jawab pertanyaan adikmu!" pinta Rina tegas.

Galdys menghirup napas dalam-dalam, kemudian bibir kecilnya mulai berkata, "Galdys mau ketemu teman Galdys yang hilang waktu itu, Ma. Dia sekarang ada di Munich, Jerman. Galdys harus ketemu sama dia, Ma." ucapnya cepat.

Chandra dan Rina menatap putri sulungnya kaget.

"Siapa dia? Sepenting apa dia, sampai kamu harus ketemu sama dia?" tanya Rina.

Nach Sieben JahrenWhere stories live. Discover now