zehn

1K 68 11
                                    

"GALDYS."

Suara berat yang memanggil namanya membuat jantung gadis itu berdegup kencang, dan juga menghentikan pekerjaannya.

Segera, ia menoleh ke sumber suara. Ayahnya—Chandra, sedang duduk di depan layar televisi, menonton acara televisi favoritnya.

"Iya, Ayah?"

"Duduk di samping ayah," ucap Chandra sambil menepuk-nepuk bangku sofa di sebelahnya. Dengan ragu, Galdys duduk di situ.

"Pada zaman dahulu kala—" ucap Chandra, "Hidup seorang gadis cantik jelita berusia dua puluh tiga tahun di kota Kuala Lumpur, yang berprofesikan sebagai seorang desainer baju terkenal.

"Suatu hari, gadis itu bertemu dengan mantan pacarnya. Keduanya masih saling menyayangi, dan mantan pacarnya tersebut akan segera pindah ke Jepang. Orang tua gadis itu akhirnya tidak menyetujui hubungan mereka. Akhirnya, lelaki itu pindah ke Jepang, dan meninggalkan gadis itu sendiri.

"Kisah mereka tidak berakhir di situ. Sang gadis patah hati selama hampir satu tahun. Akhirnya, orang tua sang gadis pun membiarkan anaknya untuk pergi ke Jepang, menemui lelaki itu.

"Dan kamu tahu? Saat di Jepang, lelaki itu telah menikah dan memiliki anak dengan orang Jepang. Sang gadis akhirnya sedih dan menangis, dan ia putus asa. Ia terus menangisi mantannya selama lima tahun. Namun untungnya, ia dijodohkan oleh seorang lelaki baik-baik, dan akhirnya menikah. Terlebih, gadis itu juga mencintai lelaki tersebut.

"Meski pun akhirnya, ia menyesal dan sedih seumur hidupnya." tutup Chandra.

"Ayah gak mau kamu berakhiran seperti gadis itu. Ayah dan Ibu sudah memikirkannya matang-matang. Ini tiketmu dengan Vian, seminggu lagi visa kalian jadi. Delapan hari dari sekarang, kalian akan segera berangkat menuju Jerman," ujar Chandra sambil menyerahkan sebuah amplop putih ke dalam genggangaman anaknya.

Mata Galdys berkaca-kaca, menatap haru ayahnya. Sebelum air matanya menetes, ia memeluk ayahnya seerat-eratnya.

"Terima kasih, ayah." bisik Galdys sambil tersedu-sedu.

Chandra membalas pelukan gadisnya itu, "Iya, ayah belum pesan tiket pulangnya. Kamu boleh tinggal di sana sampai kamu mau. Tempat tinggal, kamu boleh memilihnya sendiri. Ayah sudah mentransfer uang ke rekening kamu," jelas Chandra.

Galdys mengeratkan pelukannya, sebelum akhirnya melepas pelukan itu, dan menatap ayahnya. Sekali lagi, ia berterima kasih pada ayahnya, sebelum ijin untuk masuk ke dalam kamar dan membicarakannya dengan adiknya.

Tepat di depan pintu, ia menatap ayahnya lagi, "Ayah, siapa gadis yang ayah ceritakan?" tanya Galdys.

Chandra tersenyum kecil, "Ibu kamu,"

Galdys tersenyum mengerti, sorot matanya berubah menghangat mendengar kisah ibunya, lalu lekas membuka pintu kamarnya. Tentu saja, Vian sudah duduk di atas kasurnya, menanti kakaknya pulang.

"Vi! Kita bakal ke Munich, Jerman!" pekik Galdys bahagia.

Vian tersenyum menatap kakaknya, namun sorot sedih di matanya tetap ada di sana.

"Kenapa, Vi? Kenapa sedih?" tanya Galdys yang menyadari sorot mata adiknya.

"Kita akan ke Munich, bertemu Angela."

Galdys menghela napas mendengar perkataan adiknya. Itu benar. Mereka akan menemui seseorang yang Vian sukai sejak lama, dan ia perjuangkan setengah mati. Ya, meski pun sekarang Vian sudah berhasil move on.

Nach Sieben JahrenWhere stories live. Discover now