fünfzehn

838 50 5
                                    

VIAN tersenyum lebar ketika melihat nama hotel yang akan ia tinggali selama seminggu terpajang di depan matanya, dalam bentuk spanduk promosi, lalu terdapat tanda panah menuju arah kanan.

Dengan cepat ia segera mengangkat kopernya yang tentu saja tidak mungkin ia dorong karena tumpukan salju di jalanan.

"Kak, cepat!" serunya gembira sambil menunjuk hotelnya yang berjarak hanya enam toko dari tempatnya berdiri.

Senyuman gembira Vian luntur seketika ketika melihat badan kakaknya bergetar kedinginan sambil mengangkat koper yang berat.

Dengan cepat, Vian segera menyambar koper di tangan Galdys, kemudian menenteng kedua koper itu sambil berjalan dengan langkah yang cepat.

"Cepetan jalannya, dingin nih cuaca." pinta Vian sambil mengangkat kopernya lebih tinggi.

"Vi, gue udah gak kuat. Dingin banget di sini, gue kelaperan, masuk dulu yuk ke kafe itu? Kayanya di sana hangat?" pinta Galdys sambil menunjuk kafe bertuliskan France Croissant Cafe.

Vian menoleh ke dalam toko tersebut yang tampak hangat dan nyaman, kemudian berjalan masuk ke dalam kafe tersebut.

Setelah meletakkan kedua kopernya, lelaki itu segera memesan dua cangkir teh hangat dan duduk di meja pilihan kakaknya.

"Nih, ini gulanya," ucap Vian sambil menyodorkan beberapa bungkus gula.

"Trims." balas Galdys sambil memainkan ponselnya, "Katanya, kafe ini terkenal di Munich karena croissantnya yang enak, ya?" tanyanya.

"Mana gue tahu," jawab Vian cuek sambil mengangkat bahu.

"Kata internet," ucap Galdys sambil terus memainkan ponsel.

Vian menatap sekitar kafe yang bernuansa di luar negeri ini, mirip dengan kafe di Indonesia. Orang-orang pun banyak yang bermain laptopnya—entah melakukan apa. Mungkin, mengerjakan tugas.

Mata Vian menyipit ketika melihat seorang lelaki yang ia kenal sebagai teman SMAnya duduk berdua dengan perempuan Jerman di kursi di dekat jendela.

Ethan? batin Vian dalam hati.

"Kak," panggil Vian, "Bukannya itu, Ethan teman SMA kita dulu?" tanyanya setengah berbisik.

Galdys segera mengalihkan pandangannya dari ponsel, lalu menoleh ke arah yang sedang adiknya tatap, "Iya. Gak banyak ya yang berubah dari dia, malah tambah ganteng." senyum Galdys sambil terus menatap Ethan.

"Gimana kalo kita samperin?" usul Vian, "Siapa tau dia tau di mana Axel?" tanya Vian.

"Oke, tapi tunggu," Raut wajah Galdys berubah serius, "Kalo dia di sini dan dia tau di mana Axel, berarti selama ini Ethan di sini sama Angela, juga, dong? Apa kisah cinta mereka berlanjut?"

Vian mendengus setengah peduli, "Gak tau. Mungkin, gak peduli lagi sih gue."

"Kok lo jadi aneh gitu sih?"

"Gapapa, ayo samperin," ajak Vian.

"Lo aja yang samperin, gua masih mau duduk menghangatkan diri."

Dengan cuek, Vian melangkah menuju meja Ethan. Dengan gagahnya, ia berdiri di samping meja itu.

"Cewek lo?" tanya Vian sambil menatap Ethan yang sibuk dengan laptopnya.

Dengan bingung, Ethan segera menatap orang di sebelahnya—karena jarang ada orang yang berbicara dengannya dalam bahasa Indonesia—di Jerman.

"Bu—kan," jawab Ethan gagap, "Vian?" tanyanya kaget.

"Begitulah," ucap Vian santai sambil menarik kursi dan duduk di meja tersebut, "Hebat juga ya lo, bisa gaet cewek lokal Munich."

Nach Sieben JahrenWhere stories live. Discover now