vier­und­dreißig

102 9 8
                                    

ALIH-alih menemukan ibunya di suatu tempat, hasil navigasi mobil Ethan malah membawa pemiliknya di depan kediaman mewah milik keluarga Reza.

Ethan menghembuskan napas, kemudian menatap Angela yang masih tampak kebingungan di kursi penumpang, "Angela, aku masuk dulu. Sebentar aja kok. Kamu tunggu aku di sini, ya?" pinta Ethan.

"O-oke," senyum Angela canggung.

Ethan segera keluar dari mobilnya dan memasuki rumah mewah itu dari pintu utamanya. Setelah berkeliling mencari ibunya, akhirnya ia menemukan Lalisa sedang asyik membicarakan pernikahannya nanti di ruang makan.

"Lalisa!" panggil Ethan marah, "Apa-apaan ini?!"

"Anakku, yang sopan dong, panggil Mama," senyum Lalisa tampak tak berdosa, "Lihat, Mama lagi desain jas kamu, loh?" lanjutnya sambil menunjukkan gambar di layar tablet.

"Aku gak peduli!" ketus Ethan, lalu mengocek ponselnya dan menunjukkan foto makam dengan batu nisan bertuliskan nama ayahnya, "Apa ini?"

Lalisa menatap menyelidik ponsel Ethan kaget, kemudian merebut ponsel anaknya itu, "Ngapain kamu? Ketemu di mana?" tanyanya.

"Makam ini ada di sebelah makam Sheila—makam punya Alesia dulu. Ini apa-apaan, Ma?!" seru Ethan dengan suara bergetar hebat.

"Gak ada apa-apanya! Itu makam orang lain!"

"Orang lain? Ketemu tertulis biodata yang mirip sama punya Papa, hah?!" seru Ethan marah, "Ini sebabnya kalian gak ajak aku ke rumah sakit untuk ketemu Papa, kan? Karena ia sebenarnya sudah—"

Tangis Ethan pun memecah menyadari bahwa ia tak lagi memiliki seorang ayah, "Me-ning-gal," ejanya pilu.

"Ethan," panggil Lalisa sambil memeluk anaknya.

"Lepas, kalian tega, kalian egois!" tangis Ethan, "Kalo begitu, buat apa lagi gue kembali ke Indonesia buat menikah?!"

"Sejak gue telpon lo malam-malam itu, sebenarnya saat itu Papa meninggal," cerita Ferdinand, "Tapi ada atau tidaknya Papa, perjanjian itu tetap harus dilaksanakan. Kakak harus menikah dengan Ellen."

"Tapi, untuk apa? Biaya pengobatan Papa, memangnya—" suara Ethan melemah, dirinya terlalu rapuh untuk berkata-kata.

Lalisa menatap Ethan, "Oke, Mama ngaku. Mama terlalu terbiasa hidup mewah, jadi Mama butuh seseorang yang bisa menghidupi kemewahan Mama. Itu cuma kamu, karena jika kamu menikah dengan Ellen, Reza berjanji akan menghidupi Mama juga."

Ethan berdiri tegak, lalu menghadap Lalisa yang tengah menatapnya angkuh, "Kuharap setelah aku menikah dengan Ellen, kita tidak punya hubungan lain lagi, karena aku—"

"Ethan!"

Panggilan nama Ethan itu membuat ketiga penghuni ruang makan itu menoleh. Angela tampak berdiri di ambang pintu, menatap mereka bingung.

"Ayo pulang!" ajak Angela.

"Apa? Angela?" ucap Ferdinand kaget, "Ini beneran lo?" tanyanya.

Angela tersenyum, "Iya, ini gue. Ayo pulang, Ethan."

"A-apa? Kalian tinggal bareng?"

"Jangan dijawab, itu bukan urusannya," jawab Ethan sambil berjalan melintasi ruang makan.

Ethan merangkul Angela, kemudian menatap Lalisa dan Ferdinand, "Aku pamit pulang, tolong jangan ganggu aku dengan semua omong kosong kalian."

* * *

BOCAH nakal, sehabis kalian pergi, om Reza jadi marah karena ternyata lo udah tau yang sebenanrya. Dia majuin hari pertunangannya jadi besok.

Nach Sieben JahrenWhere stories live. Discover now