zwei­und­dreißig

105 7 7
                                    

Ethan mengerjap-erjapkan mata sambil menguap mengantuk.

Waktu baru menunjukkan pukul lima subuh, namun ia sudah duduk menunggu di ruang tunggu bandara.

"Kepada seluruh penumpang pesawat dengan tujuan Yogyakarta dengan nomor pesawat AE331 silahkan menaiki pesawat."

Ia segera menarik kopernya mulai untuk boarding. Dengan langkah mengantuk, ia pun memasuki pesawat melalui belalai.

Lelaki itu melirik deretan kursi business class, kemudian terhenti di barisan kursinya. Dengan bantuan pramugari yang meletakkan kopernya di atas kabin, ia segera duduk di kursinya.

Ia menoleh ke belakang kursinya—di mana rombongannya sangat sibuk di kursi business class. Reza, Reta, dan Ellen yang sibuk berdiskusi ria. Lalisa, Ferdinand, dan Felicia yang asyik berbincang.

"Oh, sayang, ayo kita berbincang dahulu," ajak Lalisa yang duduk di belakang Ethan dan bersebelahan dengan Ferdinand.

Ethan menoleh ke belakang, "Ayolah, semalam kalian menyuruhku untuk datang ke bandara pagi-pagi jam empat subuh untuk prewedding tiba-tiba. Aku lelah, tau?" gerutunya kesal.

"Ayolah, adikku. Mari kita mengobrol sebentar," pinta Felicia—yang duduk di sebelah adiknya.

"Oke," jawab Ethan sambil menoleh ke belakang, "Jadi selama ini Mama selalu pergi dinas kerja untuk ketemu Felicia, dan meninggalkan aku? Kenapa Mama gak ketemuin aku sama Felicia aja? Mama selalu meninggalkan aku dan Ferdinand sendiri. Kami bahkan jarang mendapat afeksi kalian!"

"Ethan, sudahlah," ucap Felicia.

"Mama sayang pada kakakmu. Maafkan Mama," jawab Lalisa lesu.

"Sejak peristiwa di Prancis, Mama tidak pernah lagi memberi kasih sayang pada aku dan Ferdinand. Selama ini aku sendiri. Dan Mama tiba-tiba memintaku untuk menikah dengan seseorang yang tidak kusukai!" sambung Ethan, "Aku kesal!"

"Ethan,"

Ethan membuka matanya perlahan, setelah mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh ke sebelah kanan, Felicia sudah menatapnya lama.

"Bangun, udah sampai," ajak Felicia, "Lo kecapekan, ya? Mimpi apa, sampai napas lo kayak orang marah."

"Jelas gue marah!" marah Ethan kesal, lalu melirik ibunya.

Tampak Lalisa sedang membereskan kopernya yang ia taruh di kabin. Ethan menghela napas, Gue terlalu banyak pikiran, sampai marah-marah cuma bisa di mimpi, batinnya.

Ethan kembali menarik kopernya dan bersiap untuk keluar dari pesawat.

* * *

DESIRAN angin berhembus di depan wajah Ethan. Lelaki itu membetulkan kacamata hitamnya, lalu merapatkan jas putihnya.

"Ayo, sayang, lepas kacamatanya!" seru Lalisa seraya menarik kacamata Ethan paksa.

Ethan mendengus kesal, mau tak mau, menuruti perkataan ibunya.

"Pengantin wanita telah datang!" teriak Reza antusias.

Ethan menatap calon pengantinnya berpakaian gaun yang sangat indah dan juga wajah yang dipoles cantik—keluar dari karavannya dan berjalan anggun.

Ellen berjalan menuju Ethan sambil dibimbing oleh make up artist, dan akhirnya mereka berdiri berdampingan.

"Baiklah, siap?" tanya sang fotografer sambil mengatur kameranya.

Nach Sieben JahrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang