zwanzig

176 15 0
                                    

VIAN tersenyum kecil setelah melihat gadis cantik dengan senyuman lebar membukakan pintu untuk dirinya.

Tanpa rasa sungkan, Vian masuk ke dalam rumah yang dipenuhi oleh suasana hangat penghangat ruangan itu.

Vian duduk di atas sofa, dengan Angela di hadapannya, membawakan sepiring camilan dan teh panas. Ditambah, beberapa tumpukan majalah yang berisi tentang panduan wisata kota Munich.

Angela tersenyum kecil sambil menydorkan beberapa majalah, dan bertanya, "Jadi, udah lo putusin mau jalan-jalan ke mana?"

"Belum," jawab Vian setelah membaca beberapa majalah, "Semua tempatnya kelihatan bagus."

Angela tertawa kecil, lalu lanjut membaca majalah.

"Gimana, kalo lo aja yang putusin ke mana kita harus jalan-jalan?" usul Vian, "Lo kan tinggal di sini, lo pasti tau kan di mana tempat yang cocok buat berwisata."

Angela menatap Vian lamat-lamat, kemudian mengganguk, "Benar juga sih ide lo. Tapi gue gak tau harus ngajak lo ke mana. Mungkin ke bangunan bersejarah gitu, lo mau?" tanya Angela.

"Boleh juga tuh." sahut Vian antusias.

"Tiket lo nanti, masih seminggu kan? Pagi, ya?" tanya Angela.

Vian mengganguk pelan, "Iya. Jam sebelas. Mungkin gue bakal istirahat di hotel."

Angela menggangukan kepalanya, kemudian kembali membaca-baca majalah di depannya. Beberapa menit kemudian, ia mengangkat kepalanya dengan wajah tersenyum antusias.

"Gimana kalo kita jalan-jalan ke Nymphenburg Palace? Gue pernah ke sana sama Ethan, tempatnya bagus lho!" ajak Angela.

"Ayo. Ada tempat gak buat shopping? Bisa jadi Galdys pengen beli barang dulu sebelum—"

"Pulang?" tanya Axel yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu kamarnya.

"Iya." jawab Vian dengan nada menantang.

"Ngapain lo pulang, cepet-cepet?" tanya Axel sambil berjalan memakai tongkat dan duduk di sebelah Angela.

"Karena, urusan Galdys di sini udah selesai, kan? Jadi ngapain gue lama-lama lagi di sini?" tanya Vian sambil menaikkan satu alisnya.

"Benar juga sih ucapan lo." balas Axel sambil menenguk teh panas di hadapannya. Rasa membakar di tenggorokannya pun juga ia abaikan.

"Kenapa lo nggak jalan-jalan dulu lagi di sini, sebentar? Menikmati pemandangan Munich, gitu." sambung Axel.

"Tenang, gue pulang satu minggu lagi. Gue punya waktu yang lebih dari cukup buat jalan-jalan di Munich." jawab Vian sambil menenguk teh panas di depannya juga.

"Satu minggu jalan-jalan di Munich, gue rasa kurang."

"Tunggu-tunggu," ucap Vian perlahan sambil menaruh gelasnya dengan kencang ke atas meja, kemudian ia memajukan wajahnya dan menatap sinis Axel, "Lo, nahan kakak gue agar gak pergi dari sini?" tanyanya gusar.

"Enggak ada yang bilang begitu. Cuma lo aja yang salah menangkap," balas Axel tak kalah gusar.

"Lo berani nahan kakak gue di sini, buat gak pergi setelah lo udah bersikap kasar ke dia? Orang aneh macem apa sih, lo?" sinis Vian.

"Gak ada yang nahan kakak lo. Dan elo, orang aneh macem apa lo, udah besar tapi bersikap kayak anak SMA?"

"Tanpa lo sadari, lo juga udah bersikap kekanakan, kayak anak SMA."

"Oke, kalo gitu. Ayo kita main, bersikap kayak anak SMA." tantang Axel, disambut senyuman lebar dan anggukan kepala Vian.

"Oke, kalo gitu sekarang gue akan terus terang," ucap Vian, "Kenapa lo nahan kakak gue di sini seakan-akan lo gak mau dia pergi dari sisi lo, tapi, lo bersikap kasar sama dia. Kekanakan banget," ejek Vian.

Ia menghirup napas dalam-dalam sebelum menanyakan pertanyaan aslinya, "Lo masih sayang kan, sama dia?" tanyanya sinis.

Axel menatap langit-langit ruangan seakan-akan sudah pasrah, "Iya. Tapi lo buka mata lo lebar-lebar, Vian. Gue cacat, gue gak akan bisa ngehidupin kakak lo, gue gak akan bisa membangun keluarga sama kakak lo. Pacaran sama dia sekarang ini, cuma akan membuang-buang waktunya."

"Lo yang buka mata lo lebar-lebar," pinta Vian, "Emang lo gak kepikiran apa apa yang ada di dalam benak kedua  orang tua gue ketika akan mengizinkan anak putrinya ke benua lain yang gak pernah mereka kunjungi—sendirian dengan adiknya yang juga masih kecil?"

Seketika, wajah Axel seketika memucat putih menatap Vian, "M-maksud lo?" tanyanya ragu.

"Orang tua gue ngijinin Galdys ke Munich, di tempat yang gak pernah mereka kunjungi sebelumnya buat nyari lo, karena orang tua gue berpikiran terbuka dan sayang sama Galdys, mereka takut Galdys patah hati terlalu dalam, jadi mereka mengijinkan Galdys untuk bertemu lagi dengan pujaan hatinya, bertemu sama seseorang yang Galdys cintai."

Sejenak Axel merasa tubuhnya beku karena ucapan Vian.

"Orang tua gue gak mau Galdys melakukan kesalahan yang sama seperti yang emak gue lakukan! Makanya dia ngijinin Galdys mencari lo!"

"Apa?"

"Apa sih, lo gak ngerti juga?!" hardik Vian kesal, "Orang tua gue ngerestuin lo sama Galdys!" seru Vian tajam.

Alih-alih merasa terharu, Axel malah tertawa, "Itu pasti karena, orang tua lo gak tau kalo gue cacat begini, kan?!" tanyanya tajam.

Vian menatap Axel pasrah, "Orang tua gue tau tentang kondisi lo ini. Orang tua gue bahkan udah tanya sama teman Galdys yang kasih Galdys info tentang lo, orang tua gue tau, gue tau, kita semua tau dan kita tetap ngasih restu ke Galdys sama lo. Tapi, Galdys sendiri yang gak tau kalo lo begini sekarang," ucapnya melemah, "Sejak awal gue kesini, gue merasa kalo keputusan ada di tangan Galdys. Kakak gue itu masih aja mencintai lo sepenuh hati meski pun lo udah bersikap jahat sama tega ke dia. Tapi dia dengan tulusnya masih sayang sama lo."

"Tapi lo bisa dengan jahatnya menolak Kakak gue. Jikalau lo udah gak sayang lagi sama dia, gue bisa mengerti. Tapi jelas-jelas gue dengar dari mulut lo sendiri, lo masih sayang sama Galdys." lanjut Vian.

Axel menggeleng pelan, "Lidah bisa aja berbohong," sanggahnya.

"Gue tau, kok. Dan gue juga tau kalo lo emang dari awal udah gak mau terima Galdys lagi, kan? Lo emang masih sayang sama dia, tapi untuk menjalankan hubungan dengan dia lagi, lo udah gak mau, kan? Gue mengerti semua itu, Kak Axel," senyum Vian, "Tapi pilihan lo satu, sekarang, kembali bersama Galdys dan membahagiakannya, atau ngelupain Galdys dan ngejauhin dia."

"Semua ini demi kebaikan Kakak sama Galdys sendiri, Kak," timpal Angela sungguh-sungguh.

"Benar?" tanya Axel.

Angela dan Vian menggangukkan kepalanya sungguh-sungguh.

Axel menelan ludahnya susah payah, membahagiakan, atau melupakan?

* * * 

Terima kasih sudah membaca:)

Vote, share dan comment!

Jangan lupa baca cerita pertama ya:
'Backstreet'

Next episode pas udah  15 votes ya!

See you in the next episode

Nach Sieben JahrenWhere stories live. Discover now