Prolog

10.9K 374 17
                                    

Boleh banget meng-copas dan menjiplak karya ini. Tapi, saya nggak tanggung jawab sama efeknya, ya. Saya nggak akan bilang apa persisnya. Coba aja sendiri ^_^. Kalau mau aman, saya sarankan sih, bubuhkan saja nama saya sebagai sumber/referensi. Itu mah akan baik-baik saja.

***

Siluman. Hantu. Jin. Itu yang berlompatan di kepalanya saat menyadari keremangan malam yang tengah purnama ini. Dia ingat petarungan di masa-masa mudanya dulu, dengan para siluman kasta tinggi. Di masa dia masih menjabat sebagai juru kunci alam gaib, masih senang berburu para hantu dan siluman, yang lolos melewati perbatasan dua dunia. 

Dulu, badan dan kekuatannya masih sangat tangguh. Sekokoh karang-karang terjal yang berbayang ditimpa cahaya bulan. Ratusan perkelahian dimenangkan. Ribuan siluman dikembalikan. Begitulah dulu, saat dia tak sadar, dia telah menjadi budak dari kekuatannya memasuki alam gaib.

Sekokoh karang, setajam ujung-ujungnya yang meruncing, kekuatan itu melukai. Istrinya pergi. Kedua anaknya, yang tengah dan bungsu, membencinya. Hanya karena dia tak dapat menceritakan segalanya pada mereka. Hanya karena dia mengunci mulutnya. Kecuali kepada putri sulungnya, Masitoh. Kalau Sasmita, sudah percuma. Kakaknya itu sudah tiada. 

Ketika para tetangga menuduhnya sebagai dukun santet yang membunuh seorang ustad terpandang di kampung tetangga, dia tak dapat bicara. Maklum, di pegunungan, orang senang membuat cerita kecil menjadi berkobar layaknya api yang membakar rumah-rumah. Mereka hidup dalam dingin, membuat apa pun jadi bahan bakar agar memanaskan suasana. Termasuk cerita tentang manusia dan para tetangga, aib-aibnya. 

Tak peduli itu benar atau tidak, mereka senang membumbui, hingga cerita asli sudah jauh berbeda, layaknya air berubah gunung.

Tidak. Tentu saja dia tidak pernah membunuh Ustad Soleh. Jangankan membunuh manusia, menyembelih ayam pun dia tak tega. Bakat dan kekuatannya tidak untuk dipakai kepada manusia lain. Kemampuannya hanya dapat dipakai untuk menyerang membabi buta para siluman dan hantu-hantu jahil. Begitulah batas dirinya. 

Tapi memang, segala urusan itu membuat dia jarang bergaul dengan manusia lain. Tak suka menghabiskan waktu berkumpul-kumpul. Dia lebih suka bau kemenyan dan bebungaan yang sering dibakar dan ditabur tiap malam, juga lantunan kidung dengan bahasa lama. Wangi dan lagunya membukakan pintu dunia antara. Mengapa? Tidak perlu dibahas. Yang dia tahu, wewangian dan kidung terbukti disetujui semesta untuk membukakan diri satu sama lain.

Gara-gara fitnah itu, dia sampai harus berurusan dengan para polisi. Untungnya, atasan komandan koramil yang sudah lama pindah, yang pernah dibantu olehnya mengurus sesuatu hal gaib, mengetahui semuanya. Entah sudah sekuat apa kekuasaan sang mayor, yang jelas, dia dibebaskan tanpa harus mendekam semalaman di penjara polsek. 

Sejak saat itu, sejak istrinya dan keluarganya terlanjur tercemar nama, sejak fitnah tetap menjalar dan membesar walau cerita sudah usai, dia membuat pernyataan untuk berhenti. Berhenti menjadi penjaga gerbang di wilayah kerajaan gaib selatan. Mengundurkan diri jadi juru kunci dua dunia. Teringat dengan wajah putri sulungnya yang masih saja baik padanya, mau merawatnya hingga dia tua kini, dia tetap menolak permintaan Sang Ratu Selatan di wilayahnya.

Tapi, pesan yang dia dapatkan sekarang, mau tak mau harus dia penuhi. Dia tak menyangka, bantuannya di masa lalu pada sang komandan, tak sepenuhnya selesai. Padahal waktu itu, saat Sasmita masih hidup, mereka merasa yakin sudah berhasil membuat jaring perlindungan. Ternyata bocor. Ternyata kelompok siluman air yang paling keji, mengincar cucu Sasmita, yang sudah dianggap cucunya sendiri.

Sambil berjalan menelusuri pantai, menelusuri pengalaman masa lalunya, dia menjaga kesadaran. Sarung yang dia kenakan tampak berkibar-kibar diterpa angin. Kedua tangannya disimpan di belakang punggung. Kepalanya menengadah sesekali menatap ke arah bulan.

SelubungmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang