Penjual Air di Taman

3.3K 209 9
                                    

Sehari telah berlalu dari sejak kejadian di kantor malam itu. Lingga awalnya benar-benar marah pada Hendra. Pada hari ini, perasaannya berkurang menjadi rasa kesal. Tepatnya, rasa kesal itu bukan pada Hendra, melainkan dirinya sendiri.

Ya, dia tahu, sangat tahu, ketakutannya pada hantu bukanlah sesuatu yang rasional. Berulang kali ketika dia sadar betapa memalukannya sifat takutnya yang berlebih, dia berusaha membentuk pikiran-pikiran logis. Pikiran logis konon membantu manusia mengendalikan berbagai kecamuk emosi.

Hantu itu hanya ilusi. Hantu itu tidak ada. Hantu itu hanya sebentuk wujud dari ketakutan lain dalam kejiwaan manusia. Percaya hantu adalah musrik. Dengan dia takut berarti dia percaya, dan itu berarti, dia musrik. Serangkaian logika seperti itu yang dia tanamkan di kepalanya. Namun, bagai status-status di sosial media yang selalu dia lihat setiap hari, pikiran-pikiran itu pun dengan gampang menguap dari ingatannya. Tetap saja, ketakutannya tidaklah berkurang.

Bukan satu dua kali dia mengalami kejadian buruk karena terlalu takut dengan hantu. Dulu, saat dia masih berusia tujuh belasan, dia berani meninju perut seorang temannya yang mendadak muncul menggunakan kain putih di malam pengangkatan anggota paskibra. Dia sendirian. Kelas dalam keadaan gelap. Tepat ketika kelebatan kain putih mendekat padanya dengan cepat, dengan kepanikan yang tak dapat dia kendalikan, dia hajar perut temannya dengan keras. Terlalu keras, sampai Maman, temannya, terguling dan tak bisa berdiri lagi. Walhasil, Maman dibawa ke rumah sakit karena tulang rusuknya ada yang patah.

Ada banyak kejadian buruk lainnya saat dia masuk kuliah, sampai akhirnya tak ada satu pun yang berani bercerita tentang hantu ketika berkumpul dengannya. Dia benci suasana terbahak yang mendadak diam ketika dia lewat. Belakangan dia tahu, teman-temannya tengah menceritakan hantu dengan cara yang menurut mereka lucu. Katanya, mereka menghargainya. Baginya, itu rasa kasihan. Lingga tak suka dikasihani. Rasa kasihan, buatnya, adalah kesombongan keji tersembunyi. Semua perasaan itu, ujungnya memaksa dia untuk tak terlalu banyak dikenal oleh orang lain. Dia menjadi sangat pemilih berteman.

Lingga menarik nafas panjang memikirkan semuanya. Dia berdiri menatap kaca dengan muka yang berkerut-kerut.

"Ah sudahlah! Akan habis tenagaku memikirkannya," ucapnya sambil mengibaskan tangan. Seolah ingin mengusir jauh letupan-letupan ingatannya.

Dia menarik napas panjang, mengikat rambutnya dengan ikatan karet gelang bekas bungkus kupat tahu, dari sarapan yang dia makan tadi pagi, dan mengusap-usapkan tangan ke kemejanya. Di kepalanya yang agak ajaib, usapan tangannya setara dengan panas setrikaan yang mampu mengurangi kekusutan di baju.

"Lingga! Sudah siap belum?" terdengar teriakan Lola, teman kosnya, dari balik pintu.

"Sudah," jawabnya ringan dan segera berjalan menuju pintu.

"Jangan bilang padaku kamu tidak mandi," Lola telah berdiri bersidekap. Blus warna biru cerah yang dia kenakan mengkerut tertahan tangan.

"Menghemat air. Lagi pula, nanti juga berkeringat lagi," jawab Lingga ringan sambil berjalan mendahului.

"Ih, jorokmu itu ya!" Lola geleng-geleng kepala sambil bersungut-sungut, berjalan mengikuti dari belakang.

"Ini jaman pemanasan global, Non. Kita harus peduli pada stok air di dalam tanah yang makin menipis," Lingga masih saja mencari pembenaran.

"Pemanasan global? Oh ya ampun, peduli sekali ya kamu sama lingkungan dunia? Tapi sayang, kamu tak peduli pada orang di sekelilingmu yang harus berkuat-kuat menahan diri tak berkomentar, melihat mukamu yang berminyak," Lola tidak mau kalah.

"Kamu benar mau kuantar atau tidak? Kalau tidak mau, aku balik lagi nih," Lingga membalikkan badan sambil menatap temannya. Pura-pura mengancam.

"Ya ya ya. Oke. Aku tidak akan bawel lagi," Lola segera merajuk dan merangkul pundak Lingga.

SelubungmuWhere stories live. Discover now