Mimpi

2.5K 177 0
                                    

Ada rasa dingin menusuk-nusuk tulang yang membuat Lingga membuka mata. Matanya berkerjap mencoba mengindera pemandangan sekelilingnya. Dia langsung terbangun kaget. Dia raba-raba tubuhnya sendiri dan hamparan rumput yang menumpu badannya.

Pakaian yang dia kenakan, jeans lusuh selutut dan kaos abu-abu kesayangannya, sudah berganti. Dia bingung melihat kain seperti jubah berwarna hitam yang menutupi tubuhnya. Jubah tak jelas bentuk dan seperti kedodoran.

"Tidak! Tidak!" Lingga berteriak panik melihat memutar.

Tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Dia tidak ada di Taman Lansia dekat Gedung Sate, Bandung. Entah ada di mana. Semuanya tampak remang dan suram. Beberapa bayangan-bayangan gelap mengerumun memenuhi pandangan. Udara dipenuhi kabut tipis. Senyap. Sunyi.

"Aku di mana? Tidak! Tolong!" Lingga berteriak semakin keras.

Tidak ada yang menjawab. Badan Lingga menciut ketakutan. Dadanya berdebar kencang kembali. Debaran yang tidak dia suka karena sangat melelahkan. Mulutnya terasa kering. Sekilas pikirannya mengatakan bahwa dia mungkin bermimpi. Terbawa dugaan itu, dia cubit lengannya sendiri.

"Aw!" Lingga mengaduh kesakitan.

Tentu saja, itu membuatnya semakin panik. Belum pun dia mengatur napas, terdengar suara mendesis dari arah sampingnya. Lingga menoleh. Dia kaget melihat kerumunan gelap yang entah apa, melayang mendekat ke arahnya.

"Tidak! Tidak! Tolong!" teriaknya sambil berusaha berdiri.

Kerumunan gelap dari arah kiri melayang memburu tak henti. Terdorong nalurinya, Lingga berdiri dan berlari dari arah kerumunan penuh desis itu. Dia tidak tahu berlari ke arah mana. Yang dia tahu, dia menghindar dari yang ditakutinya. Sekuat tenaga.

Namun, kerumunan di belakangnya tidak berhenti memburu. Bahkan kerumunan itu tampak lebih membesar. Seolah bayangan-bayangan gelap kecil-kecil yang tadi dia lihat mengelilingi pemandangan, bergabung jadi satu. Lingga tak dapat berpikir apa pun selain berlari.

Entah sudah berapa lama dia bergerak berusaha menghindari. Tiba-tiba saat tenaganya makin surut dan kerumunan gelap terasa begitu dekat di belakangnya, ada sesosok tubuh dari arah samping kanannya. Sosok itu terlihat melambai-lambai, dari kejauhan.

Terdorong oleh nalurinya, dia segera mengarahkan badannya ke arah sosok yang masih tampak samar karena jauh. Ada lingkaran cahaya putih seperti pagar yang seolah menjadi batas antara tempat suram yang tengah dia lewati dengan tempat sosok itu berada.

Lingga sudah hampir akan menyerah. Namun, desisan yang semakin terdengar seperti jeritan ribuan perempuan, bagai pecut yang terus memacu badannya untuk berlari. Rasa pengap makin menderanya. Tapi Lingga tak juga ingin menyerah. Tepat ketika tenaganya hampir habis, dia telah ada di depan lingkaran cahaya putih dan dia melemparkan badannya melewati lingkaran itu.

Serta merta, kerumunan gelap dan desisan yang tadi memburunya menghilang. Di tempat tubuhnya kini berada, suasana tampak terang. Lingga sulit menyebut hamparan di atasnya sebagai langit karena terlihat putih saja. Dia mengatur napas dan debar jantungnya yang bertalu-talu agak mereda. Perlahan tenaganya pulih kembali.

Ketika terasa lebih bugar, Lingga menumpu badannya untuk berdiri. Dia melihat memutar mencari sosok yang tadi seolah memanggilnya. Sosok itu berdiri sekitar 10 meter darinya. Seorang lelaki berumur sekitar 70 tahunan yang terlihat tersenyum kepadanya.

Lingga berjalan pelan meragu. Paras lelaki itu terlihat bersih dan ramah. Samar sekali, Lingga merasa pernah mengenalnya. Namun ingatannya tak mampu memanggil siapa sosok lelaki itu. Rambut lelaki yang bergelombang dipangkas rapi, diselingi uban, dan mata yang kecil sebelah, terasa begitu khas. Badannya agak pendek dengan perut membuncit. Berulangkali dia memaksa mengingat, otaknya tetap kosong.

SelubungmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang