Kegelisahan Lain

2K 152 5
                                    

Lingga merasa malu pada ketiga orang yang datang bersamanya saat dia keluar dari kamar. Mereka terlihat duduk di meja bundar tengah ruangan ketika dia masuk. Berbagai berkas berantakan memenuhi permukaan meja. 

Hendra tampak gontai menyandar. Jambul rambut kuningnya, turut melunglai. Mungkin minyak rambutnya sudah habis dimakan keringat.

Lola memijit-mijit keningnya menatap tulisan di atas meja. Rambutnya yang biasanya rapi sudah terlihat dijepit satu, dengan jepitan longgar. Lengan kaosnya melinting sebelah ke atas. 

Sementara Bhadra, yang biasanya paling rapi dibanding semuanya, pun telah membuka kancing kemeja, tiga kancing dari atas. Lingga melihat, lengan kemeja panjangnya sudah digulung melebihi siku. Ujung kemeja kanannya keluar dari ikatan tali pinggang.

Ketika dia bergerak melangkah mendekat, kepala ketiganya langsung menengok.

"Lingga!" Lola langsung berdiri dari kursi dan berhambur memeluk ke arahnya. 

Seperti biasa, Lingga hanya berdiri kaku dan tangan kanannya menggaruk-garuk kepala tak gatal.

"Kamu baik-baik saja kan? Si Mbah itu sudah mengobatimu kan?" Lola merenggangkan pelukannya, mengguncang-guncang kedua bahu Lingga. Matanya menatap khawatir.

"Iya, iya. Aku baik-baik saja, Lola. Mohon maaf semuanya." Lingga segera bergeser ke arah kiri sedikit dan membungkukkan badan ke arah Hendra dan Bhadra.

Hendra tampak tak mau kalah dari Lola. Walau kalah cepat, dia berjalan menghampiri dan merangkulkan tangan ke bahu Lingga. Melihat itu, Lola terlihat cemberut.

"Sungguh, Ling, aku sampai berpikir untuk mengusulkan membawamu ke rumah sakit. Syukurlah Ni Sumi bilang, Mbah Wantiah itu akan berhasil membuatmu bugar kembali. Kok bisa sih kamu pingsan tiba-tiba?" tanya Hendra sambil mengikuti gerak langkah Lingga.

Oh jadi itukah yang disampaikan Bhadra? Aku pingsan? Duga Lingga dalam hati.

"Yang pingsan itu biasanya tak tahu mengapa dia pingsan, kalau bukan dokter yang mengatakan," Lola menjawabkan. Mulutnya bersungut-sungut dan dengan gerakan cepat, dia tarik rangkulan tangan Hendra ke belakang. 

Lingga tentu saja tertawa geli melihatnya. Dia baru tahu, Lola bisa posesif dengan tubuhnya.

"Ya kan dokter itu pengertiannya banyak. Barangkali Mbah Wantiah itu dokter tradisional yang tidak kenal bangku sekolahan. Kalau dari cerita Nini Sumi, dia bukan dukun pecicilan. Bahkan beberapa kasus yang katanya kasus medis, dia rujuk lho ke dokter." Hendra membalas sambil bersidekap dan menatap kesal pada Lola.

"Ya tapi tetap saja, kamu sebaiknya mengerti kondisi Lingga dong. Bukannya malah bertanya memojokkan, 'kok bisa sih kamu pingsan tiba-tiba?' " Lola menirukan pertanyaan Hendra dengan nada mengejek.

"Hey, sudahlah. Aku baik-baik saja, oke? Ada apa sih dengan kalian?" Lingga menghentikan langkahnya. Bertanya dengan nada setengah serius, setengah geli.

Lola dan Hendra langsung memelototi satu sama lain. Bhadra terdengar tertawa kecil. Dia sama sekali tidak beranjak dari tempat duduknya. Tampak asik menatap ke arah ketiga orang di depannya. Saat tatapan penuh perhatian itu menyapu matanya, Lingga mengalihkan pandangan ke Lola dengan cepat.

"Sudah selesaikah tugasmu?" tanya Lingga.

"Belum sih. Aku pusing melihatnya. Semua hasil karya pembatik yang sudah senior itu bagus-bagus," jawab Lola dengan nada lemah, sambil menatap ke arah berkas di atas meja.

"Kupikir Lingga sudah dapat membantu sekarang. Ayo, mari lanjutkan lagi pekerjaan kita. Tentu kita semua tidak ingin sampai begadang kan?" Terdengar suara khas Bhadra yang berat bertanya retorik, menyemangati.

SelubungmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang