Tragedi 19 Tahun Lalu

1.7K 131 0
                                    

Lingga berjalan hati-hati menuruni jalanan setapak yang terkesan licin. Dia memegang tangan Bhadra kuat-kuat. Mereka tiba di depan rumah neneknya. 

Rumah itu gelap dan hanya terlihat cahaya remang-remang dari dalam. Tercium bau kemenyan dan bunga dibawa angin semilir. Keduanya menghentikan langkah sebelum batas pagar bambu.

"Kak, rumahnya gelap dan baunya..."

"Ssshh..." bisik Bhadra kecil. 

Dia mencengkeram tangan Lingga lebih kuat. Kepalanya celingukan melihat ke dalam rumah. Lingga mengernyit kesakitan. Tapi dia menahan diri.

"Kamu tunggu di sini, ya? Pokoknya tak boleh ke mana-mana sebelum aku memberikan hadiahnya." Bhadra menatap lekat padanya. 

Lingga mengangguk cepat. Rambutnya yang diikat ekor kuda, terayun-ayun.

Bhadra memberikan senternya sebelum dia berjalan menuju rumah. Dia berjalan pelan. Seseorang membuka pintu dari dalam. Spontan, Lingga langsung berjongkok, terhalang semak tanaman bunga jerami. Dia tak tahu mengapa dia berjongkok.

"Kamu dari mana?" terdengar suara perempuan dari arah rumah.

Bi Ning? 

Tebak Lingga dalam hati. Dia ingat namanya kini. Perempuan cantik berambut panjang ikal itu suka dipanggil dengan sebutan Bi Ning, alias Bi Wuning.

Tak terdengar suara Bhadra.

Bam!

Terdengar suara pintu tertutup dengan keras. Lingga terperanjat kaget. Ingin sekali dia berlari kembali. Tapi Bhadra sudah memintanya untuk menunggu sampai dia menerima hadiah. Takut terjadi apa-apa, Lingga berdiri pelan. Dia copot sandalnya dan berjalan mengendap mendekat ke arah depan rumah.

Namun, tiba-tiba terdengar suara mendesis dari sebelah kiri. Terdorong perasaan takutnya, dia berjalan dengan cepat ke arah samping rumah. 

Samping rumah itu dipagari bambu lebih tinggi yang dipasak berdempetan menahan longsoran dari tanah sebelahnya yang lebih tinggi. Ada ruang di antara dinding kamar luar dengan pasak bambu itu. 

Di situ biasanya dia dan Bhadra bermain sembunyi beling dalam tanah.

Lingga berjalan mengendap dan mengangkat kakinya yang lengket oleh tanah basah dengan hati-hati. Dia duduk di lantai di bawah jendela ruang depan. Dia mengatur napasnya agar tak terdengar mendengus.

"Bhadra, jangan pergi dulu, dong." Bi Ning memelas. 

"Sebentar, Bi. Aku hanya mau ke luar sebentar," terdengar jawaban Bhadra yang tenang. 

Lingga mengernyit heran.

Memangnya Kak Bhadra sudah baikan dengan Bi Ning? 

Dari semenjak kejadian di hari kedua mereka kenal, di kolam itu, Lingga ingat dia tak pernah berani bertanya mengenai perasaan Bhadra pada Bi Ning. Dia sempat mendengarkan ibu-ibu menggosip di warung, kalau Bi Ning adalah pacar simpanan ayah Bhadra. 

Lingga kecil waktu itu, tak begitu paham apa artinya.

"Bibi takut mau memberi oleh-oleh padamu. Kamu kan juga tahu, Bibi takut sama Papa kamu. Dia lagi ke luar sebentar. Bibi tidak mau ketahuan memberikan hadiah untukmu." Bi Ning memelas lagi.

"Papa ke luar ke mana?" tanya Bhadra.

"Ke rumah Abah Kanta katanya. Abahnya Lingga." 

"Oh. Ya sudah. Sini oleh-olehnya." 

"Ini oleh-olehnya istimewa. Masuk ke kamar Bibi, yuk?"

Hadiah apa sih? 

Otak kecil Lingga yang selalu ingin tahu, bertanya penasaran. Dia tahu letak kamar Bi Ning. Dia berjalan dengan berjongkok ke arah jendela ketiga dari tempatnya. Dia melihat ada pancaran cahaya lampu minyak ke luar dari bolongan kayu di dinding itu. Lingga tersenyum senang.

SelubungmuWhere stories live. Discover now