Ikatan dengan Kunti Dewi

1.7K 153 12
                                    

Lingga tak segera diijinkan bertanya ini itu sebelum baju-baju kotor dimasukkan ke dalam plastik. Kunti Dewi menolak bicara sebelum Lingga menyapu kamar dan mencuci bersih piring-piring dan gelas yang telah menjamur di kamar mandi. 

Ketika Lingga mencari celah menawar bahwa dia lelah telah menempuh perjalanan jauh, Kunti Dewi menolak ketus, mengeluarkan jurus -aku-tahu-kamu-tidur-sepanjang-jalan.

Lingga pun tak berkutik.

Dia memenuhi semua permintaan demi mendapatkan cerita yang dia tunggu-tunggu. Kabut di kepalanya menghilang seiring kegiatan bersih-bersihnya. Gelembung sabun nan rapuh, berubah menjadi bola pejal bergerak ke sana kemari. Memecahkan pertanyaan yang sempat terasa mengkristal sepanjang setengah hari kemarin dan hari ini.

Setelah selesai, Lingga membuka ikat pinggang dan hendak membuka celananya. Kunti Dewi langsung menutup muka.

"Lingga, hargai aku dong. Aku punya sopan santun juga. Gantilah di kamar mandi!" Kunti Dewi bersungut-sungut.

"Hah? Serius?" Lingga kaget. 

Kata-kata protesnya tak jadi dia ucapkan ketika Kunti Dewi terlihat melotot. Bergegas, Lingga mengambil piyamanya dan masuk ke kamar mandi. 

Jadi kalau pas ada hantu, aku ganti baju sembarangan, mereka terganggu? Tanyanya geli.

Lingga hampir akan melempar celana jeans dan kemejanya ketika keluar dari kamar mandi. Kunti Dewi melotot lagi. Lingga pun mengurungkan geraknya. 

Dia mengambil kain batik pemberian Mbah Wantiah di saku celana jeans, lalu memasukkan baju ke dalam plastik hitam tadi, yang dia simpan di pojok sebelah pintu kamar mandi. Setelahnya, dia simpan kain batik itu di saku depan tas punggungnya.

"Sudah selesaikah semua persyaratannya?" tanya Lingga memastikan.

Kuntilanak itu mengangguk. Lingga menarik napas lega dan segera duduk menyandar ke dinding di atas kasur dan meluruskan kaki. 

Sementara Kunti Dewi memilih menarik kursi dari meja yang berhadapan dengan kasur. Dia duduk sambil menumpangkan kaki. Dia menyimpan kedua tangannya menyilang di atas pangkuan. Melihat sikapnya, Lingga hanya geleng-geleng kepala.

"Mengapa kamu mengikutiku dan memunculkan diri di rumah Pak Tukiman? Lalu seenaknya, pergi begitu saja?" 

Kunti Dewi menceritakan bahwa awalnya Mbah Wantiah hendak mengusir jauh-jauh. Namun, Arka menahannya. Mereka berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Kunti Dewi. 

Apa pun itu, Mbah Wantiah akhirnya meminta dia membantu Lingga menemukan petunjuk mengenai misi yang pernah disampaikan olehnya. Katanya, membantu Lingga adalah juga membantu dirinya sendiri. Itulah mengapa dia menguntit Lingga.

"Dengan cara bagaimana katanya kamu bisa membantu?" 

Kunti Dewi mendesah dan menggeleng lemah.

"Lho, kamu pun tidak tahu?" Lingga tercengang.

"Itu lah. Aku bingung sekali dengan sikap misterius Mbah Wantiah dan Arka. Ah, hantu botak sialan yang tak jelas kastanya itu! Mengapa dia terkesan senang memperumit masalah sih?!" Kunti Dewi cemberut kesal.

"Kasta? Kalian berkasta-kasta?" 

Perhatian Lingga teralih pada hal lain. Dia sudah lupa dengan rasa penasaran mencari sebab kemunculan Kunti Dewi di rumah Bu Suningsih.

Kunti Dewi terbawa oleh pertanyaan itu. Dia menceritakan bahwa mahluk gaib alias yang biasa disebut hantu, jin, atau siluman oleh manusia memiliki sistem kehidupan kerajaan. 

Semua jenis mahluk yang ada digolongkan berdasarkan status keturunan. Ada yang berkasta bangsawan, kaum cendikia, pengusaha, dan rakyat jelata seperti dirinya. 

Kunti Dewi tak dapat menebak Arka golongan yang mana. Dia tak pernah melihat jenis mahluk yang mirip manusia bentuk wujudnya. Lingga tentu saja tercengang-cengang. Mana pernah dia mendengar cerita hantu versi begini.

Lebih jauh, Kunti Dewi menyebutkan bahwa menurut Mbah Wantiah dan Arka, dia adalah mahluk dari wilayah Kerajaan Gaib Selatan, di bawah kekuasaan Ratu Nyi Roro Kidul. Sebaik-baiknya tempat buat Kunti Dewi, walau masih berstatus tersesat, dia harus kembali ke wilayah selatan. 

Dari hitungan mereka, tempat tinggal Lingga sekarang di Bandung, juga tempat lahirnya, masuk dalam wilayah ini.

"Memangnya Ciwaringin bukan termasuk wilayah selatan?"

"Bukan. Itu wilayah Kerajaan Utara, di bawah kekuasaan Ratu Dewi Lanjar. Tak seperti di duniamu, sistem pencatatan kependudukan kami sangat ketat. Tak bisa diakali atau dipalsukan. Bau tubuh kami ini tandanya. Maka dari itu, tersesat sekaligus hilang ingatan adalah musibah besar, buat golongan jelata sepertiku." Kunti Dewi menjelaskan dengan mata menerawang, sedih.

Lingga miris mendengarnya. Lebih miris ketika Kunti Dewi menyebutkan, kalau Mbah Wantiah tak segera mengikatnya waktu itu, dia bisa habis diganyang dan dijadikan mainan para kuntilanak utara yang terkenal galak dan tak berpendidikan. 

Menurut Kunti Dewi, dibandingkan wilayah selatan, peradaban hantu di wilayah utara memang agak ketinggalan. Lingga bingung, harus tertawa atau menangis mendengarnya. 

Diskriminasi antar golongan, ternyata ada juga di dunia gaib.

"Jadi apa yang terjadi di rumah Bu Suningsih?" Lingga teringat dengan rasa penasarannya yang semula.

"Nah, kembali ke yang tadi. Tepat saat kamu kelepasan menyuruhku diam, aku seperti didorong oleh suatu kekuatan yang sangat besar. Tidak jelas apa. Tiba-tiba saja aku ada di rumah Nini Sumi lagi. Arka langsung muncul dan menarikku bertemu Mbah Wantiah. Sampai di sana, setelah aku ceritakan apa yang terjadi, aku dilarang mengikutimu. Kata Mbah Wantiah, nanti saja setelah kamu pulang." 

Kunti Dewi mengakhiri ceritanya dengan mengendurkan badan.

"Kekuatan sangat besar?"

"Ya, kekuatan besar. Tapi aku juga tidak tahu. Mbah Wantiah dan Arka, ah, menyebalkan. Mereka tak mau menjelaskan lebih jauh." Kunti Dewi menghela napas panjang. 

Lingga pun bingung. Dia merasa, pikirannya buntu.

"Tapi, yang paling penting sekarang adalah apakah kamu mau mengikatku?" tanya Kunti Dewi tiba-tiba. Seolah teringat dengan hal yang dilupakan.

"Maksudnya?" 

"Ya, apa kamu mau mengikatku? Aku perlu persetujuanmu untuk menerimaku sebagai teman barumu. Kalau kamu bersedia, maka walau aku tersesat dan hilang ingatan, aku punya rumah sementara. Jadi aku tak akan dicap jadi umang-umang liar lagi." Kunti Dewi menatap memohon. 

Mendengar itu, Lingga tertawa kecil. Dia ingat dengan sebutan Mbah Wantiah untuk kuntilanak ini di awal pertemuannya. Terbayang olehnya, rasa tersesat dan hilang ingatan itu pasti tak nyaman. Persis seperti yang dialami oleh dirinya.

"Asal jangan buat badanku pegal linu lagi." Lingga pura-pura cemberut.

"Oh, jangan khawatir. Batik dari Mbah Wantiah itu adalah semacam rumah mewah buatku. Aku lebih tertarik tinggal di situ daripada dalam tubuhmu." 

Lingga terdiam sesaat. Kunti Dewi menatap menghiba.

"Baiklah." Lingga tersenyum.

"Oh, terima kasih, Lingga." 

Berhamburlah kuntilanak itu ke pelukan Lingga. Dia sungguh-sungguh menangis. Lingga hanya geleng-geleng kepala melihat sikapnya yang berlebihan.

Setelah tangisannya mereda, Kunti Dewi duduk di sebelah Lingga. Dia sama-sama meluruskan kaki dan duduk menyandar.

"Jadi sekarang kita harus menemukan sendiri siapa yang perlu dibantu olehku itu? Tanpa ada petunjuk sedikit pun?" Lingga teringat dengan isunya sendiri. 

Kunti Dewi menatapnya sedih. Dia menggeleng lemah. 

Menyadari tak ada jawaban yang jelas, Lingga memilih berbaring sambil berusaha mengingat kembali apa yang terjadi. Pikirannya melayang-layang dalam ruangan hampa. Sampai akhirnya, rasa kantuk datang perlahan dan membesar. Dia pun tertidur, bersebelahan dengan Kunti Dewi.

***

SelubungmuWhere stories live. Discover now