Kesurupan

1.9K 146 13
                                    

Pak Tukiman dan Bu Suningsih menyambut kedatangan mereka. Badan mereka memang kurus, tapi terlihat betul gerakannya masih lincah. Lingga tak percaya umur mereka sudah 70 tahun lebih. 

Terlihat, otot-otot lengan Pak Tukiman masih pejal, didukung warna kulitnya yang coklat tua. Punggungnya pun masih tegap berdiri. Tinggi badannya kalah dengan tinggi badan istrinya. 

Mungkin, pikir Lingga, bertani dan berladang lebih bagus untuk olah tubuh dibandingkan pergi ke gym.

Bu Suningsih berperawakan tinggi, kurus, dan terlihat tegap. Melihat wajahnya, Lingga merasa melihat gambar komik Jepang yang tirus dan runcing-runcing. Saat dia tersenyum lebar, suasana terkesan jadi menyenangkan. Langkahnya lebar ketika melangkah, membuat samping batiknya terbentang dan berbunyi.

Mereka saling memperkenalkan diri. 

Bhadra terlihat sangat bersemangat ketika menyampaikan maksud kedatangan mereka. Matanya tak henti memandang bergantian pada Pak Tukiman dan Bu Suningsih yang sikap duduknya langsung agak merunduk, menyimak ucapannya.

Lola tampak gelisah duduk menyimpuh. Berulang kali, tangannya sibuk menarik ujung celana pendeknya, yang jadi tertarik lebih ke atas melewati setengah paha, ketika duduk dengan posisi itu. 

Lingga memang bingung mengapa Lola memilih berpakaian yang membuatnya jadi tersiksa. Ditambah lagi, make up yang dia kenakan cukup tebal dan kini alas bedaknya jadi tak rata karena disapu keringat.

Lingga ingin membantu, tapi posisi duduknya jauh dari Lola yang memilih duduk sebelah Bhadra. Tak disangka, sambil tetap melihat ke arah sepasang suami istri itu, Hendra meletakkan syalnya yang rupanya dia keluarkan dari tas sedari tadi. Lola menoleh ke arah Hendra dan tersenyum malu. Lingga ikut tersenyum, menarik napas lega.

Sambil menunggu obrolan yang agak panjang itu, Lingga melihat ke sekeliling. 

Seperti rumah yang halamannya jadi tempat parkir, gaya rumah ini pun mirip. Berlantai kayu, berdinding anyaman bambu. Hanya ada jam dinding, selembar kalendar berisi wajah tokoh politik lokal yang pinggirannya robek sebagian, dan tiga buah figura foto mereka berdua. Tak ada foto anak atau keluarga lainnya.

Tidak ada sekat di ruang itu, yang memisahkan ruang tamu dengan ruang keluarga. Di arah belakang punggung Bu Suningsih dan Pak Tukiman, tatapan Lingga terpaku kagum. 

Ada bentangan tiga helai batik di sana, yang telah diwarnai. Disangga gelantungan bambu utuh yang melintang hampir menyentuh atap. Di bawahnya, ada bentangan kain lain yang masih belum rampung diwarnai. Tingginya terjangkau gapaian tangan. Terlihat dua kompor kecil dan perlengkapan canting di dasar lantai, tak jauh dari tempat itu.

Lingga hampir mengalihkan pandangannya kalau tidak terganggu oleh hal lain yang dia lihat. 

Tepat di ujung kain sebelah kanan, seorang perempuan, berkulit putih, berambut panjang, bergaun merah, berdiri dan melambaikan tangan padanya. 

Dewi? Mengapa kamu ikut ke sini? Tanya Lingga dalam hati. Matanya membelalak seolah ingin kata hatinya terdengar oleh hantu itu.

Bukannya pergi, Kunti Dewi malah tersenyum dan berjalan ke arah mereka. Tepatnya, duduk di ruang kosong sebelah kanan Lingga. Di sebelah kirinya, Abah Nandang duduk bersila, memandang dengan mata menutup sesekali, mengantuk.

"Aku tertarik saja mengikutimu."  Kunti Dewi terkikik, di dalam kepala Lingga.

Lingga hanya bisa duduk terpaku. Tentunya akan aneh kalau dia mengibaskan tangan berusaha mengusir Kunti Dewi.

SelubungmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang