Tulisan Tangan dan Burung Kuning

1.7K 150 6
                                    

Lola telah ada di dalam kamar saat Lingga membuka pintu kamar mandi yang memang ada di dalam ruangan itu. Temannya terlihat sedang memilih-milih baju dari tas yang isinya sebagian sudah dikeluarkan. Mendadak, Lingga ingat dengan percakapan mereka ketika akan sarapan tadi pagi.

"Lola."

Lingga memanggil sahabatnya sembari setengah berlari menghampiri dan duduk di atas kasur. Tepat di sebelah Lola.

"Aduh, jangan buat aku kaget dong, Ling. Mentang-mentang sudah sembuh." Lola terperanjat dan mengusap-usap dadanya.

"Maaf. Maaf. Jadi dari semalam sampai tadi pagi kita berangkat bersama Bhadra dan Hendra, apa saja yang terjadi?" tanya Lingga sambil berbisik. 

Ekspresi Lola mendadak serius. Dia lepaskan tangan dari baju yang tengah dia pilih dan segera duduk di sebelah Lingga.

Lola menceritakan dengan berbisik-bisik dan wajah serius.

"Malam itu, aku tadinya akan membawamu ke klinik terdekat karena kamu tak dapat dibangunkan. Tapi, baru saja aku mau pergi, kamu mendengkur. Ya sudah, aku betulkan saja posisi tidurmu dengan susah payah," ucap Lola tetap berbisik dan hati-hati. 

Lingga menarik badan, tak mengerti bagian mana dari cerita itu yang harus membuat Lola bersikap hati-hati.

"Lalu?" 

"Sstt. Tapi ada yang aneh." Lola menarik bahu Lingga mendekat kembali. Ekspresi wajahnya tak berubah. Tetap serius.

"Karena takut, aku memutuskan tidur denganmu malam itu. Belum juga aku terlelap, kamu terbangun dengan mata terpejam. Kamu berjalan menuju meja dan menulis di sana. Aku biarkan saja kamu menulis karena aku takut. Oh sumpah, tadinya aku akan berlari ke luar kamar. Tapi kamu kembali dan tertidur seolah tidak ada apa-apa. Sesudah itu, entah mengapa, rasa takutku hilang dan aku pun mengantuk." 

"Menulis? Apa kamu tahu apa yang aku tulis?" Lingga penasaran.

"Aku tidak tahu. Aku tak berani baca. Apalagi kamu sendiri yang melipatnya tadi malam. Tapi aku bawa karena memang berniat menceritakan dan memberikannya padamu. Sebentar." 

Lola bergerak mengambil tas dari bawah kakinya. Dia membuka resleting bagian depan dan mengambil lipatan kertas.

Lingga mengambilnya dan hendak membukanya. Tidak jadi.

"Sudah kan? Aku tak tahan ini bicara bisik-bisik." Lola menatap serius ke arah Lingga.

"Lho, itu saja kah yang aneh?" Lingga tak jadi membaca dan menatap heran ke arah sahabatnya. 

Mendengar itu, Lola membalas dengan pandangan bingung.

"Iya. Sudah. Besoknya kan kamu membangunkan aku. Lalu kamu mengajakku pergi karena aku sedang cuti. Kamu bahkan memelas-melas agar aku ikut. Karena katamu, kamu takut berangkat bersama Bhadra." Lola menjawab heran, sudah tak berbisik lagi.

Menyadari temannya tak merasa dia sedang hilang kesadaran di waktu pagi, Lingga segera mengendalikan sikapnya. Dia pura-pura tertawa.

"Aku hanya ingin menguji ingatanmu, kok," katanya sambil mengeratkan pegangan ke kertas yang sedang dia genggam.

"Halah. Kupikir apa. Ya sudah itu saja yang aku tahu." 

Lola mengalihkan kembali perhatiannya pada baju yang tadi dia pilih-pilih. Lingga diam terpaku, menatap kertas yang masih terlipat di tangannya.

"Duh, sudah hampir magrib, nih. Itu saja ceritanya. Aku penasaran sebenarnya mengapa kamu menanyakan hal itu lagi. Tapi, aku perlu mandi. Gila! Panas sekali sih di sini?" Lola bergegas mengambil perlengkapan mandi dan baju gantinya. Dia berjalan berlalu dari hadapan Lingga.

Lingga memikirkan cerita Lola dengan serius. Mendadak, bunyi cericit burung membuyarkan lamunannya. Dia kaget melihat burung mungil keemasan yang tampak cantik mendarat di pangkuannya. Menatap ke arahnya dengan tatapan, yang bagi Lingga, seperti menyelidik.

"Burung? Mengapa kamu ke sini? Kamu lepas dari sangkar kah?" Setengah kaget, setengah terpukau dengan kecantikan si burung, Lingga bertanya.

Dia berusaha mengingat-ingat apakah ada kandang burung yang dia lihat di rumah ini. Tidak. Mungkin, tebaknya, Aki Harjo punya burung yang disimpan di belakang rumah?

Ada yang tergerak di hatinya. Dia merasa jatuh cinta dengan burung mungil yang tampak lincah ini. Tangan Lingga terjulur berusaha memegang si burung. Tapi, burung itu terbang menghindar seolah tak mau disentuh. 

Lingga pikir, burung itu akan melayang terbang ke luar jendela yang masih terbuka. Ternyata si burung kembali lagi bertengger di pangkuannya.

"Oh, kamu mau dekat denganku tapi tidak mau aku pegang ya? Apa kamu ingin berteman denganku?" 

Lingga memelankan suaranya, menahan diri untuk tidak menyentuhnya. Burung itu mencicit. Paruhnya mematuk-matuk kertas di pangkuannya yang hampir dia lupakan.

"Ah ya, kertas ini. Mari kita lihat, apa yang aku tuliskan." Lingga mengambil kertas. 

Burung mungil mengepakkan sayap dan bertengger di bahu kanannya. Lingga geli menyadarinya. Tapi senang, serasa punya teman baru yang tak diduga-duga hadir.

Lingga membuka lipatan kertas. Dengan cepat, matanya menelusuri barisan tulisan tangannya yang tak rapi. Untung masih bisa dibaca.

Hati-hatilah. Ikuti apa yang dikatakan perempuan tua bermata buta sebelah. Ingat baik-baik jambu yang kamu curi saat umurmu masih 9 tahun. Di situ, kamu akan dapat petunjuk yang sangat penting.

Begitulah bunyi tulisan itu. 

Lingga melongo sesaat membacanya. Dia tak dapat membayangkan seandainya kertas ini sampai di tangannya sebelum dia bertemu dan berbicara dengan Mbah Wantiah. Pasti, dia akan membuang atau membakar kertasnya.

Dia ulang-ulang membaca tulisan di sana. Dadanya berdebar kembali membayangkan apa yang akan terjadi. Kali ini, debar itu tak sepenuhnya bermuatan ketakutan. Tercampur dengan rasa menggeliat yang muncul kembali, yang belum bisa dia namai.

Keterpakuan Lingga mendadak pecah. 

Sang burung mengepakkan sayap, mengambil kertas tipis itu dengan paruhnya. Dia terbang ke arah jendela, begitu cepat. Lingga sudah terlambat untuk tahu ke arah mana burung itu pergi. Ketika dia berdiri di depan jendela, burung mungil sudah tak terlihat dilindungi gelap yang mulai memekat.

Kriuk!

Perutnya berbunyi. Tepat ketika itu, Lola sudah selesai mandi. Harum sabun bercampur parfum semerbak memenuhi ruangan.

"Makan yuk, Ling," ajak Lola dengan paras segar. Dia menyimpan baju kotor ke tasnya.

Lingga mengangguk. Dia simpan pikirannya, bergegas mengikuti Lola, menuju kamar makan.

***


SelubungmuWhere stories live. Discover now