Undangan Makan Malam

1.8K 140 8
                                    

Lingga merasa hari itu berlalu sangat cepat setelah pertemuannya dengan Bhadra. Tugas-tugas sudah dia kerjakan karena memang tidak terlalu berat.

Teringat dengan pelukan Bhadra, Lingga tak berhenti tersenyum. Lalu berubah murung ketika dia ingat Bhadra akan makan malam bersama teman kosnya.

Saking terlarutnya dengan perasaan yang berubah-ubah kutubnya, Lingga tak memedulikan Kunti Dewi yang melayang ke sana ke mari, mengganggu teman-teman kerjanya.

Lingga baru saja melangkah ke luar batas pintu ruangan kerjanya ketika dia lihat tiga orang berjalan dengan langkah cepat dari arah pintu masuk, dua orang lelaki dan satu perempuan.

Perempuan itu terlihat ringkih dan kurus. Kulitnya putih pucat, kontras dengan rambut lurus bopnya yang hitam pekat. Tapi, bukan perempuan itu yang membuat hatinya terkesiap.

Lelaki yang berjalan paling depan yang membuatnya begitu, Pak Pranadigjaya. Badannya yang tinggi besar, dengan kumis tebal, masih terkesan sama buat Lingga. Mengerikan.

Bu Neli, yang menyusul Lingga di belakang, sampai terpekik. Perempuan itu menyalip Lingga dan berjalan tergopoh-gopoh menyambut. Merasakan debar jantungnya yang bertalu-talu, Lingga terdiam kaku.

Pak Richard, manajer bagian marketing berhambur berlari dari arah ruangannya. Hendra sampai harus menyingkir memberikan jalan pada atasannya.

Bersamaan, Lingga bertemu tatap dengan Hendra. Lelaki berjambul kuning tegak kaku itu, langsung bergegas berjalan menghampiri Lingga.

"Kok Pak Pranadigjaya datang ke sini lagi, Ling? Sepertinya bos-bos kita pun tidak tahu ya?" bisik Hendra.

Lingga mengangkat bahu. Dia berusaha mengatur napas, meredam debar jantungnya. Kunti Dewi melayang-layang gelisah.

"Lingga, itu siapa sih? Melihatnya, aku merasa jiwaku dirobek-robek." Suara Kunti Dewi setengah mencicit.

Lingga melirik heran ke arah kuntilanak itu. Heran dengan gelagatnya.

"Itu Pak Pranadigjaya, ayah Bhadra," jawabnya dalam hati.

Hendra mengernyitkan kening menatap ekspresi Lingga yang tampak kusut.

Tak jelas apa yang dibicarakan oleh Pak Pranadigjaya, Pak Richard, dan Bu Neli. Setelah mereka berbicara beberapa menit, Pak Richard terlihat membungkuk berulang kali dan langsung berpamitan. Sementara Bu Neli balik badan dan berjalan ke arahnya. Wajahnya tampak berseri-seri.

Hati Lingga terkesiap, ketika tatapan matanya bertemu Pak Pranadigjaya. Dalam hitungan sekitar tiga detik, Lingga yakin lelaki tua besar itu tersenyum dibalik kumis tebalnya. Namun, Lingga nyaris menganggapnya sebagai khayalan ketika lelaki itu langsung berjalan membelok, diikuti dua orang asistennya, menuju ruangan Bhadra.

"Lingga!" seru Bu Neli dengan nada setengah terpekik, ditahan. Lingga kebingungan.

"Ada apa, Bu?"

Hendra terlihat ragu apa masih harus berdiri di sebelah Lingga atau tidak.

"Kamu juga, Hendra. Katanya, kita menang tender karena hasil karya kalian di Ciwaringin sangat memuaskan klien. Tunggu lima belas menit lagi. Kamu, Hendra, Pak Richard, aku, Pak Bhadra, diundang makan malam. Katanya sih ada satu orang lagi ya? A,h aku tak peduli. Jangan ke mana-mana, oke? Dan oh, demi Tuhan, Lingga, cuci dulu mukamu yang berminyak itu dan rapikan rambutmu!" Bu Neli mencengkeram bahu Lingga kuat-kuat, dengan wajah berseri-seri.

Lingga mengernyit kesakitan. Dia bersyukur atasannya langsung melepaskan cengkeraman sambil berjalan setengah meloncat, senang, menuju ruangannya.

SelubungmuWhere stories live. Discover now