Benteng-Benteng yang Runtuh

1.7K 139 2
                                    

Benteng-benteng yang menjulang dalam diri Lingga, telah runtuh.

Setelah mengingat kejadian itu, Lingga demam tinggi selama sehari semalam. Badannya menggigil, panas, dan pikirannya tak dapat berfungsi. Air matanya mengalir setiap kali dia terbangun. Lelah oleh tangisan, dia tertidur lagi. 

Bi Masitoh sangat kerepotan memaksa Lingga makan dan minum. Kunti Dewi tak lelah merayu Lingga. Abah Kanta sampai harus menunggui Lingga meminum air yang disediakan olehnya sendiri, untuk memastikan cucunya ini menghabiskan.

"Apa dia akan baik-baik saja, Bah?" Bi Masitoh berbisik, di luar kamar Lingga. 

Paras wajahnya terlihat sangat khawatir. Kunti Dewi pun sama.

"Dia akan baik-baik saja. Hanya butuh waktu. Tak mudah menerima pengalaman masa kecil yang mengerikan seperti itu. Dan menyadari apa yang terjadi sesudahnya, itu pun berat." Abah Kanta menghela napas sambil tersenyum pada anak sulungnya, melirik sekilas pada Kunti Dewi.

Bi Masitoh menatap ke arah tirai pintu kamar dengan wajah muram. Air matanya mengalir dan dia segera mengusapnya dengan ujung kerudung. Kunti Dewi menatap iba ke arah Bi Masitoh, bergantian ke arah tirai pintu.

"Dewi, berikan Lingga waktu. Kamu sendiri sudah ingat kan kamu siapa? Pergilah menjenguk keluargamu. Mereka sudah menunggu," kata Abah Kanta dalam hati.

"Tapi, Lingga..." Kunti Dewi membalas enggan.

"Biarlah. Aku yang akan urus. Nanti kamu kembali lagi kalau sudah kupanggil." 

"Baiklah kalau begitu. Mari, Bah..." 

Kunti Dewi pamitan. Dia melayang melesat, ke luar dari rumah.

***

Setelah demamnya menurun, Lingga merasa badannya sangat lemas. Dia mengangkat badannya perlahan, berusaha duduk menyandar. Dia menarik napas pelan dan menatap ke arah jendela samping. Belumlah surut bengkak di matanya, air mata meleleh kembali di pipinya.

Jadi ini kah kebenarannya? Bhadra lah yang dikuasai siluman jahat itu?

Air mata mengalir lebih deras.

Dia tergugu, lagi dan lagi.

Abah Kanta berjalan menghampirinya. Dia duduk sama menyandar. Di sebelah Lingga. Tangannya mengusap rambut Lingga pelan-pelan. 

Lingga makin tergugu. Tenggelam dalam tangisannya.

"Sini." 

Abah Kanta berkata lembut sambil mengangkat kedua bahu Lingga. Dia merangkul dan memeluk Lingga.

"Sakit, Bah... Sakit...sekali..." kata Lingga terisak-isak. Pipinya dipenuhi air mata. Cairan bening keluar dari mulutnya.

Abah Kanta mengambil sapu tangan dari tepi meja tempat menyimpan bubur. Dia usap-usap wajah Lingga. Matanya ikut berkaca-kaca.

Lingga lelah dengan napas tersengal dari tangisannya, dari cairan hidung yang menahan udara masuk. Tapi dia tak dapat berhenti. Dia menangis, sejadi-jadinya.

Seiring tumpahan air matanya, berbagai bayangan hadir.

Wajah Mbah Wantiah. Bu Suningsih yang kesurupan. Tatap kagum Lola pada Bhadra. Pujian Hendra dan kata-katanya yang menyadarkan Lingga. 

Kunti Dewi saat dia masih menyeramkan. Kunti Dewi kemudian dan gaunnya. Burung kuning keemasan dan Arka. Bu Neli dan gosip Pak Pranadigjaya. 

Obrolan dengan Bhadra agar Lingga tak melanjutkan urusan dengan para hantu. Pertarungan Kunti Dewi. Pertarungan dia dengan siluman Iframardah saat menyelamatkan Lola. Ajakan tulus Pak Pranadigjaya yang dia abaikan karena pengaruh Bhadra. Bantuan Bhadra kepada dirinya dan Lola.

SelubungmuWhere stories live. Discover now