Arwah Mantan Lola

2.1K 164 13
                                    

Jam telah menunjukkan pukul 17.17 ketika Lingga selesai mengepak barang-barangnya. Tiga kaos, satu celana pendek, tiga pasang pakaian dalam, satu handuk kecil, satu buah topi, dan perlengkapan mandi sudah dimasukkan dalam satu tas punggungnya. Buku catatan, kamera, dompet, dia simpan di tas terpisah.

Setelah selesai, dia menggerakkan badannya yang terasa makin pegal. Menyadari betapa linu seluruh tulang sendinya, baru sekarang Lingga heran mengapa dia merasa seperti itu. Pegal linu yang persis sama dirasakan kalau dia sudah naik gunung.

Badanku kenapa ya? Tanyanya dalam hati. Belum pun mengolah keheranannya sendiri, terdengar jeritan Lola dari balik pintu kamar.

"Lingga! Lingga!" teriaknya berulang kali sambil menerobos masuk ke kamar Lingga.

Jelas betul, air mata terurai di pipi Lola. Namun, Lingga kaget pun heran dengan ekspresi wajahnya. Itu bukan ekspresi sedih atau marah. Lola saat ini terlihat sangat ketakutan.

Lola menghambur memeluknya dengan badan yang gemetaran. Lingga sampai bingung dan hanya dapat berdiri kaku. Selalu, jika ada orang memeluknya, dia tak mengerti harus bereaksi bagaimana. Jadi, dia biarkan saja Lola menangis sejadi-jadinya, tanpa menggerakkan badan sedikit pun.

Setelah sekitar lima menit, Lola melepaskan pelukannya. Dia sibuk mengusap-usap air mata dan duduk di kasur. Lingga mengikuti duduk di sebelahnya.

"Jadi kenapa?" tanya Lingga.

"Oh... Aku... tidak tahu... bagaimana menceritakannya padamu, Ling," ucap Lola masih dengan napas tersendat.

"Mmm... maksudnya?" Lingga mencoba bereaksi.

"Mantanku..." dan baru saja kata-kata itu keluar, derai air mata Lola turun lagi.

"Memutuskan lagi?" Lingga mencoba menebak walau dia ragu.

"Mantanku...itu...ternyata..." Lola masih saja kesulitan menjelaskan.

Terdorong oleh rasa kasihannya, Lingga bergerak mengambil air minum dari dispenser yang terletak di sebelah pintu. Dia berikan kepada sahabatnya dan Lola langsung menyambut rakus.

"Dia... ternyata... sudah... meninggal, Ling," dan meledaklah lagi tangisan Lola.

Mendengar itu, Lingga benar-benar kaget. Mendadak kesiap dingin menjalari tubuhnya lagi. Perutnya menjadi sangat mulas. Dia segera bergeser duduk menempel ke tubuh Lola, dengan lutut yang mulai gemetaran.

"Se-serius? Lalu yang bertemu denganmu...?" Lingga tak berani melanjutkan. Dia berharap dugaannya tidak benar. Dia berharap bahwa mantan Lola meninggal tadi pagi.

"Itu yang aku tidak mengerti. Dia meninggal tiga hari sebelum bertemu denganku kemarin! Kamu juga lihat kan? Kamu lihat kan dia benar-benar seperti nyata? Bagaimana bisa? Bagaimana...? Bukankah hantu-hantu katanya muncul di malam hari? Tapi ini? Sungguh! Oh Lingga, bagaimana dong?" Lola meremas paha Lingga sampai dia mengernyit kesakitan. Wajah sahabatnya terlihat pucat pasi.

"Ta-tapi, apa kamu yakin? Bagaimana kamu bisa tahu?" Lingga masih berusaha memikirkan kemungkinan lain, dengan susah payah.

"Yakin! Tadi, aku menelepon nomor kontaknya. Yang menjawab adalah adiknya yang paling bungsu. Ku pikir, ku pikir dia hanya sedang ke kamar mandi hingga adiknya yang menjawab. Tapi justru, cerita mengerikan itu yang ku dengar. Oh Tuhan! Ada apa ini, Ling? Apa aku sebegitu berdosanya pada dia sampai dia datang menemuiku? Di siang hari pula!" ekspresi Lola makin campur aduk. Antara takut, sedih, bersalah.

Lingga sebenarnya sudah tak ingin melanjutkan pembicaraan ini. Tangannya sudah terasa sangat dingin dan basah. Tapi, ada dorongan lain yang muncul menyeruak sama kuat.

"Memangnya, kemarin kalian bicara apa?" tanya Lingga.

"Ya bahwa dia masih mencintaiku, bahwa dia masih ingin jadi kekasihku. Semacam itu. Dia bertanya kabar juga. Gara-gara pertanyaan itu, aku asik bercerita tentang diriku sendiri. Dia hanya senyum-senyum saja dan mendengarkan penuh perhatian. Sumpah Ling! Saat kami bersentuhan, tak ada yang aneh sama sekali. Terasa sangat nyata," kata Lola. Kali ini, nada suaranya memuat rasa penasaran dibandingkan takut.

Lingga terdiam. Ya, dia akui kejadian itu sangat aneh. Kepalanya melayang pada kejadian yang menimpa dirinya sendiri. Tentang bagaimana dia masuk ke alam suram menakutkan sementara Lola merasa mereka pulang bersama. Ada yang putus, hilang, sangat tak masuk akal, yang tak berani dia pikirkan lebih jauh.

Dia tadinya tak ingin mengingat-ingat lagi. Termasuk pengalamannya melihat sosok perempuan tua di kantor. Namun, semuanya tak berhenti. Seolah dia tidak diperbolehkan untuk lupa. Kini, dia makin tak mengerti mengapa Lola pun menjadi bagian dari kejadian-kejadian aneh menakutkan ini.

Ada suara samar-samar di kepalanya saat dia bertanya dalam hati. Tapi, dia tak dapat memahaminya.

"Eh, tunggu. Baru ku ingat sekarang. Ada yang lebih aneh," paras wajah Lola tak terlihat pucat lagi. Keningnya kini berkerut-kerut. Dengan gerakan mendadak dia melihat ke arah Lingga. Sampai Lingga terhenyak dibuatnya.

"Kalian belum pernah aku kenalkan kan? Betul kan?" Lola seolah ingin memastikan pikirannya sendiri.

"Y-ya. Mantanmu yang kamu ceritakan kan yang sudah putus sebelum kita jadi teman kos. Memangnya kenapa?" Lingga menjawab sekaligus tegang menyadari gelagat Lola yang mengaitkan mantannya dengan dirinya.

"Nah iya! Sebelum kami berpisah, dia bilang begini, 'minta pada Lingga, temanmu, untuk tidak lari terus.' Nah, begitu katanya," Lola terdengar bersemangat.

"Ma-maksudnya?" tanyanya segera. Rasa ngeri kembali seperti memakan jantungnya.

"Persis seperti itu yang ku tanyakan. Sumpah! Aku tidak mengerti. Dia bilang, 'takutmu pada hantu, dengan takutnya pada hantu, itu beda. Sampaikan saja padanya, air yang tadi dia minum, adalah air dari alam gaib. Dia harus cari tahu alasannya.' Nah, begitu. Duh! Kok aku baru ingat sekarang ya? Waktu itu aku bingung mengapa dia tiba-tiba membahas air minum. Tapi, aku juga tidak tahu mengapa seolah kepalaku kosong tak dapat bertanya lagi," Lola mengetuk dahinya sendiri dengan tangannya. Ada tatap linglung yang terlihat di sana.

"Apa?!" Lingga berteriak keras. Lola sampai hampir melompat dari kasur.

Berbagai macam rasa seolah memelintir perut dan dadanya. Badannya terasa sangat panas. Mukanya sampai memerah. Lingga merasa sulit sekali bernapas. Suara samar-samar terdengar bingar di kepalanya. Desisan, jeritan ribuan perempuan, kekehan tawa nenek tua, bayangan-bayangan gelap, masuk kembali ke kepalanya. Matanya mengabur.

Lola menjerit kaget melihatnya.

"Lingga!" teriaknya berulang-ulang sambil mengguncang-guncang bahu kawannya.

Bersamaan dengan suara adzan maghrib, Lingga jatuh terkulai di tempat tidur. Pingsan.

***

SelubungmuWhere stories live. Discover now