Buku Harian Ayah Lingga

1.7K 152 1
                                    

Setiba di rumah Abah Kanta kembali, Lingga segera masuk ke dapur dan menyantap makanan dengan lahap. Tanpa banyak bicara. 

Bi Masitoh yang saat itu menyiangi sayuran untuk makan siang, hanya melongo. Dia bertanya pun, Lingga seperti tak mendengar dan menyadari kehadirannya. 

Bi Masitoh bergegas menuju ruang tengah dan sibuk menceritakan perilaku Lingga pada Abah Kanta. Abah Kanta pun tidak menjawab. Dia menyesap kopi, memejamkan mata, dan tersenyum saja.

"Ah! Sudahlah! Aku lebih baik menyiangi sayur kembali," keluh Bi Masitoh.

Kunti Dewi melayang-layang menunggu. Abah Kanta menatap ke arah Kunti Dewi sebentar. Ketika didengarnya langkah kaki menuju ruang tengah, Abah Kanta berdiri dan berjalan ke dalam kamar.

Lingga berjalan santai sambil mengelus-elus perutnya, kekenyangan. Dia merasa tubuhnya mendadak segar. Seolah rasa sedih, terluka, demam, tak pernah ada sebelumnya. 

Lebih jauh lagi, dia merasa seperti terlahir menjadi orang yang baru.

"Ke mana Abah?" tanya Lingga kepada Kunti Dewi yang melayang kemudian mendarat setelah Lingga masuk ke ruang tengah. 

Kunti Dewi menunjuk ke arah kamar tengah. Kamar yang bersebelahan dengan kamar Lingga.

Belum pun Lingga berjalan ke arah kamar, Abah Kanta sudah ke luar membawa sebuah buku agenda bersampul warna hitam. Dia menatap Lingga.

"Duduklah," pintanya sambil duduk bersila lagi.

Lingga menurut. Dia duduk di depan Abah Kanta. Kunti Dewi mengikuti dan duduk di sebelah Lingga.

"Ini adalah buku harian Babahmu. Buku yang sangat lama. Kurasa, kamu akan perlu ini untuk memahami Babahmu dan Pak Pranadigjaya." Abah Kanta menyodorkan buku itu.

"Ba-bagaimana Abah tahu aku butuh informasi semacam itu?" 

Lingga tercengang kembali sambil menerima buku itu. Dia tak menyangka, ternyata dia dapat menemukan sebagian jawaban secepat itu. Tanpa perlu menghubungi Bu Neli, untuk membuatkan janji dengan Pak Pranadigjaya.

"Kamu begitu bersemangat dan pikiranmu sampai pada pikiran Abah. Begitu lah cara Abah tahu." Abah Kanta tersenyum.

"Bisa kah seperti itu?" Lingga benar-benar takjub.

"Pikiran manusia, kalau tenang seperti telaga, akan menangkap pikiran lain. Bayangkan saja telaga yang sangat tenang. Setetes air atau daun jatuh di atasnya, akan beriak. Beda dengan telaga yang keruh dan bergelombang." 

Abahnya terkekeh.

"Wah!" hanya itu komentar Lingga dengan mulut menganga. Dia benar-benar tidak tahu mengenai itu. 

Itu mengapa tenang itu penting?

"Sudah. Bacalah buku itu. Waktumu sudah semakin terbatas." Abah Kanta mengalihkan pikiran Lingga. Diingatkan, Lingga terperanjat dan menatap ke arah buku di tangannya.

Lingga membuka buku yang kertas di dalamnya sudah kuning. Sebagian halaman sudah digigit tikus di pinggirannya. Bau buku itu apek. Lingga mengernyitkan hidung ketika dia membuka lembaran-lembarannya.

 Ada tulisan tanggal dan tahun di setiap halaman, dari tahun 1993 sampai dengan tahun 1995. Lingga ingat, ayahnya baru pulang ke Agrabinta di tahun 1994 akhir. Katanya, dia sudah selesai tugas di Aceh. 

Dan sejak saat itulah, perilaku ayahnya lebih keras daripada sebelumnya.

Penasaran dengan itu, Lingga membaca tiap halaman dengan konsentrasi penuh. Tidak banyak tulisan yang dibuat ayahnya. Hanya ada sekitar satu parapgraf di setiap halaman. Sebagian tercampur dengan gambar-gambar denah lokasi suatu wilayah. Banyak kata-kata GAM yang dituliskan ayahnya.

SelubungmuWhere stories live. Discover now