Ciwaringin

2.3K 169 7
                                    

Hawa sejuk terasa membelai-belai kening. Lamat-lamat, Lingga mendengar suara obrolan. Suara lelaki. Kesadarannya perlahan hadir. Terasa olehnya ada benda yang menyangga kepalanya. Benda itu terasa agak keras dan bergoyang-goyang. Ada bunyi seperti detak jantung yang sangat halus terdengar oleh telinga kiri yang menempel pada apa pun yang menopang pelipisnya.

Lingga masih linglung, kabur antara perasaan bermimpi dengan terbangun, ketika dia mendengar suara lelaki menyapanya.

"Ling. Ehm. Kamu sadar kan kamu sekarang ada di mana?" 

Terdengar suara yang familiar menyapanya dari arah depan. Dari balik kursi mobil. Suara Hendra.

Dalam hitungan sepersekian detik, Lingga langsung terperanjat. Dia menatap ke arah depan, kanan, dan kirinya. Mobil tengah melaju di jalanan. Hendra duduk di depan. Supir yang dia tak kenal tengah mengemudi. Dari semua itu, dia paling syok melihat dan menyadari bahu siapa yang sedari tadi menjadi bantal tidurnya. Bhadra.

Bos barunya hanya mengerling kepadanya sambil menahan senyum. Lingga langsung duduk tegak, menggeserkan badan ke arah kanan. Hampir saja kepalanya membentur atap mobil karena dia bergeser dengan gerak setengah melompat. Terdengar jelas olehnya Hendra menahan tawa.

Lingga merasa sangat kerepotan berusaha memahami semuanya. 

Apa yang telah terjadi? 

Bukannya tadi aku masih ada di kamar kos? 

Bagaimana aku bisa tetap berangkat bersama Bhadra dan Hendra? 

Di mana Lola? 

Begitu berbagai pertanyaan yang hadir di kepalanya sekarang.

"Dan kamu masih ingat kan bagaimana akhirnya Pak Bhadra mengizinkanmu membawa temanmu yang kini tidur pulas di jok paling belakang? Sungguh, Lingga. Kamu benar-benar mengejutkan," Hendra seolah mendengar pertanyaan terakhirnya.

Mengetahui itu, Lingga kaget kembali. Dia langsung menengokkan kepala ke arah belakang. Benar kata Hendra, Lola kini terlihat terbaring disangga bantal kesayangannya yang berwarna pink kumal berbulu lembut. Bantal yang sebenarnya boneka kura-kura gepeng. 

Sahabatnya itu mendengkur halus, mulut setengah terbuka, berbaring terlentang, dengan kaki ditekuk.

Lingga semakin bingung. 

Apakah aku kehilangan kesadaran lagi? Oh Tuhan, apa yang terjadi padaku? Aku lelah. Sungguh, Tuhan. Aku lelah. 

Badannya terkulai lemas.

Perubahan ekspresi Lingga dan pandangannya yang menerawang, sepertinya tertangkap jelas oleh Bhadra yang saat itu melirik ke arahnya.

"Tidak masalah, Hen. Toh, kita juga sudah sepakat bukan? Bahwa kita menyetujui ada tenaga sukarelawan tambahan untuk membantu kita. Buatku, itu bagus. Kita bisa lebih cepat menyelesaikan pekerjaan. Apalagi katanya Lola juga punya pengalaman di bidang fashion, khususnya batik. Pun kebetulan dia sedang cuti. Tiga hari pula," kata Bhadra dengan nada santai.

Mendengar itu, Lingga merasa sedikit lega. Walau kesadaranku hilang lagi, setidaknya proses apa pun itu, masih terkesan logis, pikirnya.

"Iya sih, Pak. Betul itu," tanggap Hendra, sedikit malu.

"Ssh. Mari kita ubah panggilan menyebalkan itu selama tiga hari kita bekerja sama. Aku tahu, usia kalian tak terlalu jauh denganku. Jadi, panggil saja aku dengan namaku," pinta Bhadra.

"Aduh. Itu berat, Pak... eh," Hendra menepuk mulutnya sendiri.

"Biasakan. Atau boleh panggil dengan sebutan Mas, Bang, Kang. Asal jangan Pak." Bhadra bersikukuh.

SelubungmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang