Malam Ke-21

1.8K 139 4
                                    

Siang itu, setelah dzuhur, Pak Mantri yang telah diminta bantuan lagi oleh Abah Kanta datang dengan mobil landrovernya. Katanya, mobilnya kini sudah lebih tangguh dan Lingga beruntung pulang hari ini, saat bidan desa baru tiba dari pulang kampung. Jadi Pak Mantri bisa izin seharian ini mengantarkan Lingga.

Lingga berpamitan pada Bi Masitoh dan Abah Kanta. 

Sepanjang jalan, Lingga berusaha menenangkan diri karena ingin seperti telaga. Arka dan Kunti Dewi sabar menunggu sampai kemudian Lingga mengajak mereka bicara dalam pikirannya. Untung saja, Pak Mantri jenis orang pendiam. Dia tak banyak bicara selama mengendarai mobilnya, menuju rumah Ibu Lingga.

Ibu Lingga mencerewetinya lagi karena Lingga bahkan tak menyediakan waktu untuk makan sore bersama. Lingga berhasil meredam kekesalan ibunya dengan memeluk, menciumi, dan meminta makanan dimasukkan wadah sebagai bekal. Juga janji dia akan pulang lebih sering, sebulan dua kali. 

Tak berdaya, ibunya melepas dengan wajah sendu, saat anaknya menyalakan motor dan melaju kencang menuju kota tempatnya bekerja.

Lingga tiba di Bandung sekitar jam 7 malam. Sesuai rencana, dia langsung menuju rumah Bhadra di jalan Teuku Umar. Perjalanan jauh dari Agrabinta tak membuatnya lelah sama sekali. Perasaan-perasaan remeh seperti itu, tak berhasil menyurutkan semangatnya. 

Dia memarkirkan motornya di dalam lingkup parkir kampus Unpad, Dipati Ukur. Sebelum dia berjalan kaki menuju rumah Bhadra, dia bergegas ke kamar mandi dan kembali setelah lima menit.

Sosok Lingga yang ramping dan gesit, keluar dari lingkungan kampus dan berjalan cepat menuju rumah Bhadra. Jalanan masih ramai oleh lalu lalang kendaraan. 

Lingga menekan bel pintu setiba di depan rumah Bhadra. Lampu-lampu masih menyala. Bu Siti tergopoh berjalan dari arah dalam dan membukakan pintu gerbang.

"Neng Lingga? Oh syukurlah. Kang Bhadra menanyakan Neng Lingga saat siuman barusan," sambut Bu Siti dengan wajah bercampur lega pun gelisah.

"Iya, Bi. Siapakah saja yang sekarang ada di rumah?" 

"Ada Pak Pranadigjaya. Dia baru datang dari kantor. Karena selama Kang Bhadra sakit, Bapak lah yang menggantikannya sementara." Bu Siti mengekor di belakang Lingga.

"Bu Siti akan pulang?" Lingga tetap berjalan, lebih lambat dari sebelumnya.

"Iya. Ibu sudah disuruh pulang oleh Pak Pranadigjaya. Sebenarnya Ibu tidak tenang meninggalkan, takut Kang Bhadra demam lagi. Syukurlah Neng Lingga datang," nada suara Bu Siti kentara lega. Lingga tersenyum saja.

Segera setelah Lingga masuk ruangan, Bu Siti segera beres-beres dan pamitan. Dia hanya izin pulang di balik pintu kamar Bhadra yang terdengar senyap. Hanya suara Pak Pranadigjaya mengiyakan terdengar dari dalam, parau. Lingga mengernyit mendengarnya. Namun dia menahan diri. Tak bergerak sebelum Bu Siti berlalu dan pintu gerbang terdengar ditutup.

Tok tok tok.

Lingga mengetuk pintu. Terdengar suara parau Pak Pranadigjaya lagi, siapa, tanyanya. Lingga tak menjawab dan membuka pintu.

Tercenganglah Lingga melihat pemandangan di depannya.

"Pak!" teriaknya kencang, berlari cepat.

Pak Pranadigjaya berdiri tertekan tubuh Bhadra yang tengah mencekik lehernya. Wajah teman ayahnya itu memerah legam.

"Kang Bhadra! Lepaskan!" 

Lingga menjerit sambil berhambur dan merengkuh punggung Bhadra dari belakang. Kedua tangannya berusaha menarik tangan Bhadra yang mencengkeram leher ayahnya, dari kiri dan kanan. 

SelubungmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang