Kunti Dewi Sakit

1.6K 133 0
                                    

Lingga bangun lebih pagi dengan perasaan lebih segar. Dia masih berdebar-debar setiap kali ingat kejadian tadi malam. Dia pun tak dapat membayangkan bagaimana kalau dia bertemu Bhadra pagi ini. Namun, tak seperti biasanya, dorongan untuk melakukan apa pun tanpa dipikirkan menguat di benaknya.

Dia membuka jendela dan melihat ke arah taman. Melihat taman itu, dia langsung meloncat-loncat gemas sendiri. 

Ternyata dia juga suka padaku! Pekiknya dalam hati.

Mengikuti dorongan hati, dia berjalan ke luar kamar dengan gerakan setengah meloncat. Persis seperti anak-anak yang baru mendapatkan hadiah yang diinginkan. Dia melirik malu ke arah kamar Bhadra. Pintunya masih tertutup.

Dengan perasaan ceria yang memenuhi tubuhnya, Lingga berjalan ke arah dapur. Dilihatnya Bu Siti tengah sibuk menyiapkan makanan. Ketika dia menengadah dan melihat Lingga, Ibu itu tersenyum. Dia ingin menanyakan apa yang sedang dimasak Bu Siti.

"Kang Bhadra belum bangun, ya Bu?" tanya Lingga begitu saja. 

Dia langsung menepuk bibirnya sendiri. Kaget mengapa kata-katanya berbeda dengan pikirannya.

"Dia sudah bangun kok. Kalau sudah Subuh, dia langsung lari pagi. Biasanya sejam dia habiskan waktu untuk lari," jawab Bu Siti sambil tersenyum.

"Oh ya?" Lingga diam sebentar. "Bu Siti masak apa?" 

"Nasi goreng saja dan salad. Neng Lingga sudah mandi?" Bu Siti mengiris-iris tomat.

"Sudah, Bu. Ada yang bisa kubantu?" Lingga celingukan melihat ke arah bahan-bahan makanan di meja dapur.

"Tidak usah. Ini terlalu ringan buat Ibu. Apalagi Neng Lingga tamu Kang Bhadra yang sepertinya istimewa." Bu Siti mengerlingkan mata.

"Istimewa?" tanya Lingga, menahan perasaan senangnya.

"Ya, ini kali pertama Kang Bhadra bawa teman perempuan menginap. Biasanya dia sendirian saja. Kalau membawa teman yang sakit sih sudah biasa. Tapi kalau teman yang segar bugar seperti Neng Lingga ini, baru sekarang Ibu menyaksikan." Bu Siti terkekeh.

"Oh ya? Eh teman yang sakit bagaimana?" Lingga penasaran dengan penuturan itu.

"Ya tidak sering sih. Ada saja lah teman-temannya yang datang dengan terhuyung-huyung. Atau bahkan pingsan seperti teman Neng Lingga kemarin. Dari sebelum dia pindah ke Bandung pun dalam setahun, mungkin ada 3 kali. Tapi ya begitu, hanya menginap beberapa jam saja, lalu dibawa ke luar lagi. Ibu pernah bertanya sekali saking penasarannya. Katanya, mereka sakit. Itu saja. Tapi setelah bertanya sekali, Ibu tak ingin tanya lagi. Teringat dengan pesan Pak Pranadigjaya untuk tak bertanya apa pun kalau Kang Bhadra melakukan hal aneh." 

"Oh?" Lingga merasa ada yang berdecit lagi di hatinya. Tapi decitan itu tak kunjung jadi kata-kata.

"Temannya itu perempuan atau lelaki?" Malah itu yang ditanyakan Lingga.

"Perempuan sih. Tapi jangan khawatir. Dari reaksi Kang Bhadra, mereka bukan siapa-siapa, kok. Beda dengan perlakuannya ke Neng Lingga. Sampai diajak jalan-jalan. Ibu lihat, Kang Bhadra pun tampak lebih bersemangat dan banyak senyum." Bu Siti mengulum senyuman.

"Apa sih, Bu? Biasa saja juga, kok." Lingga menunduk memain-mainkan kakinya.

"Aduh!" 

"Kenapa, Bu?" 

Lingga sampai melangkah mendekat. Dia menyentuh bahu Bu Siti dan melihat ke arah pisau. Bu Siti tidak terluka.

"Kenapa Ibu cerita ke Neng ya? Duh, mulut bocor ini! Tolong ya Neng, jangan bilang-bilang kalau Ibu cerita ke Neng?" 

SelubungmuWhere stories live. Discover now