Tuturan Abang Nandang

1.9K 157 12
                                    

"Ling, Lingga. Hey, Lingga." 

Terdengar suara berat lelaki di telinganya. Ada tepukan halus yang dia rasakan di bahu kanan.

Lingga terbangun kaget dan langsung bergerak duduk. Rambutnya terurai kusut, memenuhi sebagian wajahnya. Dia semakin kaget ketika dilihatnya Bhadra jongkok, menatapnya, dan tersenyum. 

Menyadari itu, dia langsung mengikat rambut sebisanya, mengusap-usap bibirnya. Terasa basah. Dia ngiler. Mukanya langsung memerah.

"Apa saking gerahnya kamu sampai memilih tidur di sini?" Bhadra menahan senyum. Tatapan matanya bersorot geli melihat ke arah Lingga.

"Se-sepertinya begitu... Kang." Lingga menjawab terbata. Matanya mengerjap tak beraturan.

"Mandilah dulu. Setelah sarapan, kita berangkat." Bhadra mengusap bahu kanan Lingga lagi. Dia berdiri dan berjalan santai menuju teras rumah.

Desiran di hatinya menyeruak kembali. Dia pegang perutnya dan segera berdiri, berjalan setengah berlari, menuju kamarnya. Rasa mulas tak dapat dia tahan.

***

Lingga pikir, setelah rasa takut pada hantu diyakini hilang, rasa-rasa tidak menyenangkan lain akan turut menguap. Ternyata tidak. 

Dari sejak dia dibangunkan, sarapan, dalam perjalanan menggunakan mobil, dia gelisah dengan kehadiran Bhadra. Perlu upaya sekuat tenaga untuk terus mengalihkan perhatiannya kepada hal lain. Memeriksa kamera, membaca ulang skenario di buku tulisnya, menggigit-gigit ujung kuku jempolnya yang sudah panjang, dan apa pun yang bisa dilakukan. 

Apalagi, Bhadra memilih duduk di tengah, di antara Lingga dan Lola. Lingga merasa kepanasan saat bahunya menempel ke lengan lelaki itu.

Ketika jalanan terasa bergelombang, Lingga benar-benar menahan napas dan mencengkeram kuat ke pegangan yang ada di sudut kanan atas mobil. Dia tidak menyadari, Bhadra sesekali melirik padanya sambil mengulum senyum.

"Kok jauh ya?" komentar Hendra yang duduk di depan bersebelahan dengan Abah Nandang.

"Aki Harjo memang bilang rumah Pak Tukiman dan Bu Suningsih ada di ujung kampung ini. Kalau dari tanda yang tadi diberikan sih, ini sudah dekat dengan tempat parkirnya," balas Abah Nandang.

Lingga merasa mulai tak sabar. Jalanan semakin bergelombang. Dia menarik badannya dari sandaran, condong ke depan, menghindari badannya kena ke badan Bhadra. 

Rumah-rumah mulai berjarak dan terpencar seiring laju mobil. Kebun-kebun singkong dan buah lebih banyak ditemui. Lingga mencondongkan kepala ke arah celah kursi supir sebelah kanan.

"Ling, kamu ingin pipis ya?" tiba-tiba Lola bertanya dari arah kirinya. 

Lingga menoleh agak menunduk. Agar wajah Bhadra tak terlihat.

"Ti-tidak. Hanya pegal saja," jawab Lingga sekenanya.

"Nah, itu rumah tempat kita parkir." Abah Nandang mengucapkan kata yang ditunggu Lingga sedari tadi.

Lingga menggerakkan kepalanya ke kiri. Sebuah rumah panggung terpencil, dengan halaman luas, terlihat di depan. Rumah panggung itu beralas kayu, berdinding bambu. Pintunya tertutup. Tampak sepi. Beberapa ekor ayam tengah berjalan melenggang santai. Ketika mobil mendekat, ayam-ayam itu berlari menghindar dan berbunyi.

Mobil terparkir. Lingga segera turun dan menarik napas lega. Lelah betul rasanya menahan kecamuk perasaan sedari tadi. Dia lihat jam. 20 menit telah berlalu dari sejak mereka meninggalkan rumah Nini Sumi dan Aki Harjo. Jauh betul ya? Pikirnya.

SelubungmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang